Ketika hari Minggu akhirnya tiba, kami sangat bersemangat dengan apa yang akan kami lakukan ini, sebab kami sudah merencanakannya sangat lama. Kami berkumpul di depan rumah tua itu dan membawa tas ransel penuh makanan. Aku ingat saat itu kami sangat gembira karena akan “berpetualang”.
Seperti sudah kusebutkan sebelumnya, rumah ini dikelilingi dengan persawahan dan tidak memiliki pintu masuk. Rumah itu berlantai dua dan satu-satunya cara untuk masuk ke sana adalah dengan memecahkan jendela di lantai satu.
“Ah, jendela ini takkan terlalu mahal untuk diperbaiki.” kata Atsushi saat ia memecahkan kaca itu dengan batu. Ia kemudian masuk ke dalam rumah itu.
Bahkan jika tak ada yang terjadi di rumah ini, kami sudah tahu bahwa kami sudah berada dalam masalah yang sangat besar. Namun kami tetap saja mengikutinya masuk ke ruang tamu.
Di kiri kami terdapat dapur dan di depannya terdapat lorong yang menghubungkannya ke kamar mandi. Sebuah tangga menghubungkan lantai satu dengan lantai atas terletak di sebelah kanan kami. Kami melihat sisa-sisa apa yang kemungkinan pintu depan rumah ini.
Jadi rumah ini sebenarnya memiliki pintu. Namun mengapa mereka menutupnya?
Siang itu sebenarnya sangat cerah, namun karena tak ada pintu dan jendelapun sangat kusam, maka di ruang tamu tempat dimana kami berdiri sekarang terlihat cukup gelap.
Bila dibandingkan dengan bagian luar rumah yang sangat suram, bagian dalamnya sebenarnya lebih bagus daripada yang kamu sangka. Bahkan rumah ini sebenarnya bisa ditinggali, jika saja ada yang mau membersihkannya. Ruang tamu dan dapurnya sangat luas. Furniturnya juga masih lengkap, walaupun tentu tampak berdebu dan rusak. Tak ada tanda-tanda seseorang tinggal di sini selama bertahun-tahun.
Aneh, mengapa mereka meninggalkan rumah ini begitu saja? Apa pemiliknya meninggal?
“Tak ada apapun di sini.” Kami mulai kecewa karena tak menemukan apapun setelah menjelajahi ruang tamu, dapur, hingga kamar mandi. Beberapa dari kami mulai bosan dan membuka snack yang kami bawa lalu memakannya.
“Mungkin rahasianya terletak di lantai dua!” Saori mengenggam tangan adik perempuannya dan mulai berjalan menuju ke tangga.
Namun langkah mereka terhenti di depan tangga. Wajah mereka tampak ketakutan.
“Ada apa?”
Aku dan teman-temanku yang lain mengikutinya. Di depan tangga terdapat sebuah meja rias. Dan tepat di depan meja tersebut terletak sebuah tiang aneh dengan sesuatu di atasnya.
Rambut.
Melihatnya merupakan sebuah pengalaman yang aneh, sebab kami seperti melihat bagian belakang seoorang wanita dengan rambut terurai. Bahkan tinggi tiang itu kira-kira sama seperti tinggi wanita dewasa.
Sangat aneh dan segera kami mulai merasa bulu kuduk kami berdiri.
“Apa itu? Ya Tuhan, apa itu?” pekik Saori.
“Apa...apa itu rambut asli?” tanya Atsushi.
“Tak tahu, apa kau mau menyentuhnya?” jawab Kazuchika.
“Kau tak tahu apa itu, jadi biarkan saja!” pekikku, “Benda itu membuatku takut. Ada sesuatu yang salah dengan tempat ini. Benar-benar salah!”
“Ya, jangan sentuh benda itu!”
Kami semua takut dengan benda itu dan akhirnya kembali mundur ke ruang tamu. Kami tak bisa lagi melihatnya dari balik dinding ruang tamu. Namun melihat ke arah tangga dan membayangkan saja benda itu ada di situ sudah membuatku merasa takut.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita tak bisa naik jika tidak melalui tangga itu.”
“Aku takkan pergi ke sana.” Kata Saori dengan tegas, “Benda itu membuatku jijik.”
“Ya, perasaanku tak enak tentang ini semua.” Kata Naoki.
Semua rasa senang kami luntur setelah melihat benda itu. Kami sadar petualangan kami telah berakhir. Sekarang tak ada hal lain yang kami inginkan selain segera keluar dari tempat itu dan pulang.
Namun tiba-tiba kami menyadari sesuatu.
“Saori,” tanyaku, “Dimana adikmu?”
“Hah? Dia tadi ada di sini.” Saori menoleh namun tak menemukannya.
Haruka, adik Saori, menghilang.
TO BE CONTINUED
Join This Site Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon