Cahaya matahari dari luar menyinari tangga, namun masih cukup gelap di dalam. Dengan hati-hati aku menaiki tangga satu-persatu. Di tengah jalan, aku mendengar suara “Krak ... krak ...”
Aku mulai ketakutan dan menoleh untuk mengecek keadaan Takumi dan Shoji. Mereka sepertinya tak mendengar suara itu. Takumi melihat ke luar untuk memastikan Makiko tak keluar dan memergoki kami. Shoji mengawasiku dari pintu dan mengangkat salah satu jarinya, gesture yang kami sepakati untuk “Semuanya baik-baik saja.”. Aku mengangguk pada Shoji dan mulai naik kembali. Aku berpikir suara yang barusan kudengar mungkin bunyi decit tangga kayu saat kuinjak. Ini biasa terjadi di rumah tua.
Ketika aku sampai di ujung dimana cahaya dari luar mampu masuk, aku menjadi lebih takut ketimbang penasaran. Aku ingin berlari dan turun kembali. Namun aku akan malu dengan Shoji dan Takumi. Bukankah aku tadi sudah sok berani di hadapan mereka dengan naik ke sini? Tidak, aku akan meneruskannya!
Aku memusatkan mataku ke dalam kegelapan dan seperti melihat ada sesuatu berdiri di depan pintu di ujung lorong. Imajinasiku mulai menggila.
“Krak ... krak ... krak ...”
Suara itu bertambah keras dan akupun menyadari bahwa aku mungkin menginjak sesuatu. Serangga? Aku merasakan bulu kudukku berdiri. Segala sesuatu di sini tampak diam, namun suasananya sangat gelap sehingga aku tak bisa memastikan. Aku tak tahu sudah berapa kali aku menoleh ke belakang, namun aku hanya bisa melihat bayangan teman-temanku memanjang dengan jari Shoji masih mengacung.
Semakin mendekat aku ke ujung lorong, aroma aneh segera menyeruak. Aku segera menutup hidungku, seperti yang dilakukan Shoji tadi.
Bau busuk apa ini? Aromanya seperti sampah yang membusuk. Darimana asalnya? Aku melihat ke sekelilingku dan melihat asalnya. Pada ujung lorong terdapat tumpukan makanan yang membusuk. Pasti inilah sumber bau tak mengenakkan ini. Lalat berputar-putar di udara dan tumpukan sampah itu terus mengeluarkan aroma busuk.
Namun tiba-tiba aku melihat sesuatu yang lain.
Pada kayu yang menutupi pinggiran pintu di lantai dua terdapat banyak paku menancap, tak terhitung jumlahnya. Dan di paku-paku tersebut tergantung puluhan jimat. Terakhir, utas demi utas tali diikatkan ke tiap paku, membentuk semacam pola seperti jaring laba-laba.
Jelas sekali, dengan jimat dan jaring itu, bahwa sesuatu sedang “dikurung” di kamar itu. Akupun sadar bahwa sejak semula seharusnya aku tak naik ke sini.
“Saatnya untuk pergi.” kataku pada diriku sendiri. Namun ketika bersiap-siap turun, aku mendengar sesuatu dari belakangku.
“Krek ....... krek ......... kreeeeeeeek ...........” terdengar seperti suara sesuatu sedang menggaruk sisi lain dari pintu itu.
“.......huuuuuh ........ huuuuuuh ...........” kemudian terdengar bunyi napas tak teratur. Aku mengira bahwa aku akan terkena serangan jantung saat itu.
Apa ada seseorang di sana? Siapa itu?
Aku merasa seperti tokoh dalam film horor.
Aku tahu bahwa aku seharusnya pergi saat itu juga, namun aku tak bisa. Aku tak memiliki keberanian untuk maju dan aku juga terlalu takut untuk mundur kembali. Aku sepenuhnya membeku saat itu. Satu-satunya yang mampu bergerak adalah bola mataku. Punggungku basah oleh keringat dingin yang terus mengalir.
Suara cakaran dan desah napas itu membuatku putus asa, aku mungkin takkan keluar dari sini.
Untuk sesaat, suara-suara itu terehnti dan semuanya menjadi sunyi. Saat itu berlalu sangat cepat, mungkin hanya satu kedipan mata saja.
Dan kemudian ...
“KREK ...KREK ... KREEEEEEEEEK!!!!!!” suara itu terdengar makin cepat. Namun sukar dipercaya, suara itu tak lagi berasal dari pintu, namun dari atasku. Aku dapat mendengarnya berasal dari papan kayu yang menutpi langit-langit. Apapun itu, ia baru saja berpindah dari kamar ke langit-langit.
Kakiku gemetar ketakutan. Aku berpikir aku akan tamat. Diam-diam aku menangis meminta tolong.
Sejenak kemudian, aku melihat sesuatu dari pelupuk mataku. Hal itu, apapun itu, membuat sesuatu yang sedang bergerak tadi merasa terancam dan kemudian mundur. Aku ragu, namun akhirnya aku memutuskan untuk menatapnya.
Itu adalah Takumi dan Shoji. Mereka tampak berbisik memanggilku sambil melambai-lambaikan tangan mereka. Sayup-sayup, aku bisa mendengar apa yang mereka coba katakan.
“Hei! Cepat turun! Cepat!” bisik Takumi.
“Apa kau baik-baik saja?” bisik Shoji.
Mendengar suara familiar mereka, akupun mengumpulkan kembali tenagaku dan bergerak. Aku berlari menuruni tangga secepat mungkin. Aku bahkan tak sadar saat itu bahwa aku berlari dengan mata tertutup dan berlari begitu cepat hingga melewati mereka.
Saat itu aku hanya ingin berada di tempat yang aman. Kami bertiga kabur ke kamar kami. Setelah kami berada di dalam kamar, merekapun dengan cemas bertanya.
“Kau tak apa-apa?” tanya Takumi.
“Apa yang terjadi? Apa ada yang terjadi di atas sana?”
Aku tak mampu menjawab. Suara-suara itu masih saja terulang dalam pikiranku dan aku masih terlalu takut untuk menjawab.
Takumi menatapku dengan prihatin, “Apa kau memakan sesuatu di atas sana?”
Aku tak mengerti apa yang ia maksud, jadi dia mengulangi pertanyaannya. Namun aku pikir pertanyaan itu sangatlah konyol.
“Segera setelah kau sampai di atas, kamu jongkok kan?” Takumi menjelaskan, masih dengan ekspresi yang sama, “Shoji dan aku penasaran dengan apa yang kau lakukan jadi kami mencoba melihatnya dengan lebih baik. Dan kami bersumpah melihatmu memakan sesuatu dengan sangat rakus, seakan-akan hidupmu bergantung pada itu. Atau ... kau hanya menjejalkan sesuatu ke dalam mulutmu...”
“Yah, itu ...” Shoji menunjuk dan memandang kaosku. Heran dengan apa yang mereka lihat, aku menatap ke kaosku sendiri dan melihat makanan-makanan sisa yang menempel di dadaku. Baunya seperti sampah yang membusuk. Aku segera bergegas ke kamar mandi dan memuntahkan semua yang ada dalam perutku.
Ada hal yang sangat aneh terjadi padaku.
TO BE CONTINUED
Join This Site Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon