Kami bertiga masuk ke ruangan dimana kami pertama berada ketika kami tiba di rumah ini.
“Kalian melakukannya dengan sangat baik tadi malam,” biksu itu mulai berbicara sambil tersenyum hangat, “Kalian kini telah aman. Upacara pembersihan berjalan dengan lancar dan kini telah selesai.”
Kami tak tahu apa yang dapat kami katakan, jadi kami hanya tersenyum dengan canggung ke arahnya. Ada banyak hal yang ingin kami tanyakan, namun tak seorangpun dari kami berani berbicara.
“Kurasa aku harus memberitahukan pada kalian segalanya,” ia berkata penuh simpati, “Mari, ada yang ingin aku tunjukkan pada kalian.”
Ia berdiri dan mengajak kami kembali ke kuil. Dalam perjalanan menaiki tangga, Shoji dengan was-was menatap ke sekelilingnya.
“Semuanya akan baik-baik saja,” sang biksu berkata ketika menyadari ekspresi ketakutan dari wajah kami saat berjalan kembali ke kuil itu, “Apa ada sesuatu yang salah?”
“Ti...tidak. semuanya baik-baik saja.” kata Shoji, “Aku sudah tak melihatnya lagi.”
“Memang seharusnya begitu.” Sang biksu tersenyum.
Ketika kami berdiri di depan kuil utama, ia mengajak kami masuk melalui pintu belakang. Di sana kami melihat ruangan yang identik sama dengan ruangan tempat kami berada tadi malam. Kami disuruh menunggu di sana dan sang biksu pergi. Shoji masih kesulitan untuk menenangkan dirinya dan mengetuk-ngetukkan kakinya dengan was-was.
Setelah beberapa saat, ia kembali sambil membawa sebuah kotak kayu kecil. Ia duduk di depan kami dan mulai bercerita.
“Aku akan menunjukkan asal-muasal peristiwa yang menimpa kalian.” Ia membuka kotak itu dan kami bertiga sampai memajukan tubuh kami untuk melihat apa isinya. Di dalamnya terdapat seperti jamur kuping yang sudah mengering dibungkus dengan kapas.
Apa itu? Kami tak tahu sama sekali. Namun ada perasaan aneh menyelimuti kami ketika melihatnya. Sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat.
Aku mencoba mengingatnya, ketika akhirnya aku merasa seperti tersambar petir.
Ketika aku masih kecil, ibuku sering mengeluarkan kotak kecil yang terlihat berharga dari dalam lemari hiasnya. Aku sangat tertarik dan ingin melihat apa isinya. Ketika ibuku akhirnya memperbolehkan aku melihatnya, aku merasa sangat senang. Di dalamnya hanya ada kapas yang membungkus sebuah benda hitam. Aku tak tahu apa itu, jadi aku menanyakannya.
Ia hanya menjawab dengan suara lembut, “Benda ini adalah milikmu sekaligus milik ibu. Ini adalah bukti bahwa ibu dan kamu saling terhubung.”
Benda yang sedang ditunjukkan biksu itu sama persis dengan yang kulihat saat itu.
“Apa itu?” tanya Takumi.
“Ini tali pusar.” jawabku tiba-tiba. Semua orang menoleh padaku.
“Jadi kau pernah melihatnya?” tanya sang biksu. Aku mengangguk.
“Ehm...kurasa aku juga pernah melihatnya saat aku kecil.” kata Shoji.
“Aku belum pernah melihatnya.” sambung Takumi.
“Orang tua kalian mungkin pernah memperlihatkannya pada kalian,” komentar sang biksu, “Banyak orang di Jepang menyimpannya dan menganggapnya sebagai barang berharga.”
Kami bertiga mendengarkannya dengan saksama.
“Di dalam rahim ibu, orang tua dan anaknya dihubungkan oleh tali pusar ini. Untuk memperingati ikatan tersebut, banyak orang Jepang menyimpan tali pusar ini. Banyak legenda menyangkut tali pusar ini dan banyak orang zaman dahulu mempercayainya. Namun kini mungkin legenda-legenda itu dianggap mitos dan takhyul.”
“Legenda seperti apa?” tanya Shoji.
Biksu itu menghela napas, “Ratusan tahun lalu, orang-orang percaya tali pusar ini memiliki kemampuan untuk melindungi anak-anak mereka. Jika ada anak yang sakit parah, maka mereka membuat ramuan dari tali pusar dan meminumkannya pada anak mereka. Jika seorang anak membawa tali pusar bersama mereka, maka mereka akan dilindungi dalam bahaya. Namun ada suatu legenda yang amat mengerikan untuk diceritakan.”
Kami makin tertarik untuk mendengarnya. Apakah ini berkaitan dengan apa yang kami alami?
“Orang-orang di wilayah ini sangat percaya dengan legenda mengenai tali pusar ini. Di sini, banyak orang menggantungkan hidup mereka sebagai nelayan. Ketika seorang anak lahir dalam keluarga nelayan, mereka akan dibawa untuk berlayar sejak usia muda. Ini adalah kebiasaan di masyarakat nelayan.”
“Namun tentu bekerja di laut memiliki banyak bahaya. Aku hanya bisa membayangkan betapa sulitnya seorang ibu melepaskan anaknya untuk melaut, dengan kemungkinan bahwa anak mereka mungkin takkan kembali. Maka pada suatu titik, para ibu mulai meminta anak mereka membawa tali pusar mereka sebagai semacam jimat penolak bencana. Tali pusar itu juga diharapkan akan menunjukkan anak mereka jalan pulang kepada ibu mereka.”
“Jalan pulang?” tanyaku.
“Ya. Sangat umum terjadi di daerah tepi pantai seperti di sini, seorang anak tersapu ombak dan lenyap di lautan. Setelah beberapa hari, apabila mereka tak ditemukan, maka mereka dianggap telah meninggal. Namun ibu yang kehilangan anak mereka biasanya tak menerima kenyataan tersebut dan tetap menunggu anak mereka untuk kembali.”
“Karena itulah, tali pusar seringkali diberikan pada anak mereka. Seperti tali pusar menghubungkan mereka ke rahim ibu mereka sebelum lahir, maka tali pusar ini dianggap akan membawa mereka kembali ke ibu mereka. Tali pusar bagi mereka dianggap sebagai tali kehidupan. Namun ironisnya, kenyataan berkata lain. Tak satupun anak yang hilang dan membawa tali pusar mereka, pernah kembali.“
“Namun suatu hari, hal yang aneh terjadi di desa ini. Seorang ibu menangis bahagia dan mengaku anaknya yang hilang di laut telah kembali. Tak seorangpun percaya pada ceritanya dan mereka malah bertambah kasihan karena menganggap ia telah kehilangan kewarasannya. Lagipula, anaknya sudah menghilang sejak tiga tahun lalu.”
“Mungkinkah anaknya selamat dan terdampar di suatu tempat?” tanya Shoji, “Mungkin selama tiga tahun ia hidup bersama orang lain?”
“Itu juga yang orang-orang pikir. Maka mereka mulai menuntut ibu itu untuk menunjukkan bukti bahwa anaknya masih hidup.”
“Dan?” tanya Shoji.
“Ibunya kemudian berkata, ‘Tunggulah sebentar lagi, baru aku bisa menunjukkannya pada kalian.’”
“Apa maksudnya?” tanyaku. “Bukankah kalau anaknya baik-baik saja, maka seharusnya tak apa-apa bila orang-orang ingin melihatnya? Mengapa harus menunggu?”
Entah kenapa pikiran itu membuat bulu kudukku berdiri.
“Tentu saja mendengar hal itu, para penduduk desa makin yakin bahwa ibu itu depresi. Namun tak ada yang berani mengatakan bahwa ia salah. Mereka akhirnya membiarkannya saja dengan semua khayalannya. Namun hari berikutnya, seorang ibu lain muncul dan mengatakan hal yang sama. Seperti ibu yang pertama, ia juga belum bisa menunjukkan anaknya.”
“Para warga kini kebingungan. Sudah ada dua wanita mengaku tentang hal yang sama. Mungkinkah keduanya sama-sama gila? Wanita yang pertama sudah kehilangan suaminya jadi tak ada cara untuk memastikan apakah perkataannya benar atau tidak. Namun suami wanita yang kedua masih ada dan merekapun memutuskan bertanya pada sang suami tersebut untuk kebenarannya.”
“Jawaban sang suami justru berbeda dengan perkataan istrinya. Ia berkata tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Ketika para penduduk desa mengejarnya dengan pertanyaan, ia justru marah dan menyuruh mereka untuk tak mencampuri urusan pribadi keluarganya.”
Itu wajar, pikirku. Pria itu pasti malu mengakui istrinya sudah gila. Namun ia juga tak perlu semarah itu, bukan?
“Hingga suatu malam,” sang biksu melanjutkan ceritanya, “Wanita yang pertama terlihat sedang menggandeng seorang anak kecil sambil berjalan di tepi pantai. Karena kondisi saat itu gelap, maka mereka tak bisa melihat sang anak. Namun mereka berdua terlihat sangat gembira. Mereka kemudian berpikir bahwa selama ini sang ibu benar dan merasa malu menuduhnya gila. Maka merekapun datang bebrondong-bondong ke rumahnya untuk meminta maaf. Sang ibu kemudian menjawab,
“Jangan pikirkan hal itu! Kalian tak perlu minta maaf. Sejak anakku kembali, aku sangat gembira.’ Iapun kemudian menarik anaknya yang tengah bersembunyi di belakangnya dan menunjukkannya pada mereka.”
“Melihat anak itu, para warga menjadi ketakutan.”
TO BE CONTINUED
Join This Site Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon