Inilah interpretasi-ku tentang sekuel Resort. Kisah ini akan menceritakan enam orang mahasiswa dari Tokyo yang tengah berlibur di pantai. Ketika mereka mengangkut seorang pemuda misterius dan terdampar di resort tempat semua cerita itu berawal, kejadian mengerikan pun mulai terjadi. Cerita ini terinspirasi dari berbagai film, mulai dari “Evil Dead”, “Sadako 3D”, hingga “Silent Hill”. Ingat baik-baik bagian prolog-nya karena akan berkaitan dengan bagian epilognya.
NB:
1. Cerita ini harusnya kumuat 2 minggu lalu, namun karena berbagai keterbatasan, maka baru bisa kumuat minggu ini. Karena itu aku akan langsung memuat part 1 dan 2 (dari keseluruhan 6 part) pada minggu ini. Namun untuk berikutnya, setiap part akan dimuat setiap hari Minggu seperti biasa.
2. Label “Original Series” berarti kisah ini murni tulisanku, bukan hasil copya paste dan terjemahan.
***
“Huh, seram apanya!” pemuda itu berkata pada pacarnya, “Rumah hantu ini payah sekali! Aku ingin uangku kembali!”
“Anata ... kamu serius nggak takut? Aku saja merinding dari tadi ...” gadis itu mendekat pada kekasihnya.
Seorang gadis yang berjalan di belakang mereka tertawa cekikikan, “Anak zaman sekarang tak mudah ditakuti ya?”
Pemuda itu menoleh.
“Ah, maaf Nona. Saya tidak tahu anda di belakang kami.”
“Tak apa. Aku juga berpendapat sama kok. Rumah hantu ini sama sekali tak seram. Aku pernah mengalami cerita yang lebih seram.”
“Hah, benarkah? Pengalaman nyata anda?”
“Tentu. Apakah kalian pernah mendengar cerita tentang sebuah resort?”
“Resort?” gadis itu tampak tertarik. “Belum pernah. Seperti apa ceritanya?”
“Apa benar kalian ingin tahu seperti apa ceritanya? Tidak menyesal?”
“Hahaha ... tak ada yang membuatku takut, Nona!” kata pemuda itu menyombong. “Ceritakan saja. Saya sangat ingin mendengar seberapa seram ceritanya.”
“Iya,” kekasih pemuda iu juga mengangguk, “Ayo ceritakan!”
Gadis itupun memulai ceritanya sambil tersenyum.
“Semua dimulai di sebuah senja di pantai yang terlihat damai. Namun itu hanyalah awal dari bencana yang akan kami alami.”
***
Miki menatap lautan biru di hadapannya. Deburan ombak seolah menyanyi di kepalanya. Ia menatap jauh ke laut lepas, sementara pasir-pasir yang terbawa hempasan ombak seolah-olah menggelitik kakinya.
“Miki,” sahabatnya, Yuka, memanggil, “Kita harus pulang sebelum sore.”
“Ah, tak bisakah kita menunggu sampai matahari terbenam?” kata temannya yang lain, Haruna, sambil menggulung tikar yang tadi mereka pakai untuk piknik.
“Sebentar lagi malam.“ Taka, yang selalu dianggap sebagai pemimpin oleh teman-temannya menjawab, “Aku tak bisa melihat jalan kalau sudah gelap.”
“Ah, kau ini,” keluh Haruna, “padahal kan kita sudah jauh-jauh ke sini.”
“Ini bukan Tokyo, Nona. Di sana tak masalah segelap apapun, aku masih hapal jalan.”
“Tokyo tak pernah gelap.” ujar Shun, pemuda berkacamata itu. “Sudahlah, Haruna. Berkemas-kemaslah. Kita bisa melihat senja dari atas mobil. Justru akan semakin jelas.”
“Nah, tuh.” goda Taka , “Dengarkan pacarmu itu!”
Haruna memukul bahu Taka, “Bocah culun itu bukan pacarku!”
“Haruna!” bisik Yuka dengan tajam, “Pelan-pelan, nanti dia dengar!”
Namun pandangan Shun masih terpaku pada buku yang ia baca.
“Kamu itu kenapa sih?” bisik Yuka, masih dengan raut muka kesal. “Kau bisa menyinggung perasaannya.”
“Kalian itu yang kenapa! Ini seharusnya menjadi piknik yang keren, tapi mengapa kalian malah mengajak si kutu buku itu dan gadis aneh itu. Seharian dia hanya berdiri menatap laut, sama sekali tak berbicara dengan kita.” Haruna menggerutu.
“Well, aneh atau tidak, Nona,” kata Taka. “Miki tetaplah teman satu angkatan kita dan mau tidak mau kita akan berjuang bersama dia sepanjang semester ini.”
Yuka menatap Taka, “Dia tidak aneh. Ia memang introvert. Orang-orang bahkan mengatakan ia punya indra keenam.”
“Ah, kau dan empatimu, Yuka.” Taka menghela napas, “Aku tahu kita mahasiswa psikologi, tapi nalurimu untuk menolong orang, terlalu overwhelming bagiku. Setauku indra keenam nggak akan banyak berguna jika kita tak bisa menggunakannya untuk melihat soal ujian semester depan.”
Mata Yuka membelalak, “Jadi ini alasanmu mengajak mereka berdua?”
“Kok malah kalian berdua sih yang bertengkar?” malah ganti Haruna yang kesal karena tak diacuhkan, “Sekarang kemana Seiji? Dari tadi aku tak melihatnya.”
“Ah, anak itu,” Taka kembali mengeluh, “Pasti dia sedang merekam karang-karang bodoh itu. Biar aku panggil dia. Kalian berempat langsung saja ke mobil.”
Sementara itu, Miki sama sekali tak menyadari teman-teman tengah membicarakannya. Ia sibuk dengan suara ombak. Entah mengapa, suara ini begitu menenangkannya. Ia baru saja hendak berjalan ke arah teman-temannya ketika kakinya menginjak sesuatu tanpa sengaja.
Ia menatap ke bawah dan melihat sebuah cangkang kerang. Bentuknya seperti tanduk berulir dengan duri-duri di permukannya. Miki mengangkatnya. Cangkang itu cukup besar dan permukaannya halus seperti pualam.
Miki menatap bagian dalam cangkang itu. Hampa. Dulu pernah ada makhluk yang menghuninya, menganggap sebuah rumah, perlindungan. Namun ketika ia mati, ia hanya meninggalkan cangkang ini. Sangat menyedihkan.
Namun manusia lebih menyedihkan lagi, pikirnya. Ketika mati, ia takkan meninggalkan apa-apa. Ia hanya lenyap tanpa bekas, tanpa bukti bahwa ia pernah ada di dunia.
Ia takkan meninggalkan apapun, kecuali penderitaan.
Miki mendekatkan cangkang kosong itu ke telinganya. Ia bisa mendengar ombak berdesir di telinganya. Ia bisa membawa pulang pantai ini bersamanya, di dalam cangkang ini.
“Miki! Ayo! Keburu sore! Nanti Taka marah-marah!” seru Haruna.
Miki segera berjalan cepat ke arah teman-temannya, namun langkahnya terhenti ketika ia mendengar sesuatu di antara deburan ombak.
Itu suara teriakan.
Arahnya dari laut.
Ia segera menoleh dan melihat sesosok tangan menyembul keluar dari deburan ombak yang biru. Tangan itu mencoba menggapai-gapai udara. Sedetik kemudian, kepalanya muncul dari dalam air. Itu adalah seorang bocah laki-laki.
“Tolong ... tolong ...” suara itu makin jelas terdengar. Kepala anak itu kembali tenggelam ketika ombak yang lebih besar menghantamnya. Tanpa berpikir panjang, Miki segera berlari ke arah laut untuk menyelamatkan anak itu. Ia segera terjun ke dalam air dan berenang menuju ke tempat anak itu tenggelam. Sayup-sayup terdengar jeritan dari teman-temannya, namun ia tak mempedulikannya. Hanya beberapa detik di air, ia sudah merasakan air memasuki telinganya dan membuatnya tuli untuk sejenak.
“Dimana anak itu?” teriak Miki dalam hati, “Dimana dia?”
Namun kemanapun ia mencoba melihat, tak ada tanda-tanda anak itu. Hanya air dan air, berkilo-kilometer jauhnya. Bahkan ia tak bisa melihat daratan lagi.
“Hah, kupikir tadi aku tak berenang sejauh ini?”
Tiba-tiba Miki merasakan sesuatu menarik kakinya. Miki mencoba menjerit, namun air segera membanjiri paru-parunya ketika kepalanya mulai tenggelam. Miki mencoba meronta, namun genggaman di kakinya terasa lebih erat, menariknya lebih kuat ke dasar lautan. Warna biru yang mengelilinginya bertambah pekat, bercampur dengan buih putih yang berasal dari napas dan rontaannya.
Miki melihat ke bawah, mencoba melihat apa yang menariknya.
Apa kakinya tersangkut jaring nelayan?
Rumput laut?
Tidak.
Ia hanya melihat bayangan hitam, seperti manusia, bercampur dengan gelapnya dasar lautan.
Apapun itu ia memiliki sepasang mata yang menyala dalam kegelapan, menatap ke arahnya.
Kepalanya makin pusing dan terasa berat. Ia tak sanggup lagi meronta.
Ia tak sanggup lagi membuka matanya.
Ia tak sanggup lagi bernapas.
***
Miki membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah cemas dari teman-temannya yang mengelilinginya, terutama Yuka.
Ia masih merasakan rasa asin dalam mulutnya. Berarti ia tak sedang berhalusinasi tadi. Ia benar-benar tenggelam.
Mika mencoba bangun. Ia terbatuk dan memuntahkan air laut. Ia merasakan pasir-pasir menempel di rambutnya yang basah.
“Apa ... apa yang terjadi denganku?” Miki masih mencoba mengusir rasa asin yang melekat di lidahnya.
“Apa yang tadi kaupikirkan?!” seru Taka kesal, “Kata yang lain, tadi kau melompat begitu saja ke laut.”
“Anak itu ... apa ia tak apa-apa?” bisik Miki khawatir.
Teman-temannya saling berpandangan, “Anak yang mana?”
“Anak itu ... ia tenggelam. Apa kalian tak melihatnya?”
“Kami tak melihat siapapun di dalam air kecuali kau, Miki.” kata Yuka dengan wajah prihatin.
“Yah, kau dan cowok ganteng yang tadi menyelamatkanmu.” tambah Haruna.
“Oya, dimana dia?” Mereka segera menoleh untuk mencari pemuda.
”Aneh sekali, bukannya dia tadi ada di sini bersama kita?”
Miki tampak heran, “Pemuda yang mana?”
***
“Pemuda itu benar-benar ganteng!” pekik Haruna di dalam mobil. Selama setengah jam perjalanan, hanya itu yang ia bicarakan. “Aku benar-benar tak percaya. Ia begitu heroik! Entah dari mana tiba-tiba ia muncul dan membopongmu ke pesisir. Bahkan kupikir tadinya ia mau memberikan napas buatan kepadamu. Duh, kalau itu aku juga ingin.”
“Aku sama sekali tak ingat ada pemuda yang menyelamatkanku.” kata Miki. “Apa dia benar-benar melakukan napas buatan kepadaku?”
“Haha ... tidak seromantis itu Nona,” kata Seiji yang berada di kursi depan bersama Taka yang tengah menyetir. “Tapi ia menekan dadamu dan air langsung muncrat dari mulutmu. Lalu kau sadar.”
“Hei, Seiji!” seru Haruna tiba-tiba sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, “Bukannya tadi kau merekamnya di handy-cam-mu? Mana coba aku lihat!”
“Oh ya, aku lupa!” Seiji segera mengambil kembali handy-cam dari dalam tasnya, “Sebentar ...”
Serta-merta Haruna langsung merebutnya, “Mana, biar aku saja yang mencari!”
“Hei!” protes Seiji.
Namun Haruna tak peduli dan langsung mengutak-atik handy cam itu. “Mana ya rekamannya? Nah ini dia ...”
Ketiga gadis itu langsung melongok mencoba melihat ke layar handy-cam yang kecil itu. Namun yang tampak justru gambar mereka bertiga sedang menghabiskan waktu di pantai.
“Hei, dasar brengsek! Jadi selama ini kau memata-matai kami waktu berjemur memakai bikini!” seru Haruna marah.
“Dasar mesum!” Yuka ikut marah dan memukul pemuda itu dari belakang.
“Hei ... hei ... jangan mengamuk seperti itu! Taka yang menyuruhku!”
“Hei, man! Jangan sangkut-pautkan aku!” protes Taka.
“Eh, lihat ... ini adegan dimana kau terjun ke laut!” seru Haruna.
Terdengar suara jeritan para gadis di dalam video. Rekaman itu tampak bergoncang-goncang karena Seiji yang merekamnya tengah berlari menghampiri mereka.
“Ada apa?”
“Miki ... ia tenggelam!”
“Kenapa kalian tak menolongnya?”
“Ombaknya terlalu besar, kami takut ...” ujar para gadis.
“A ... aku tak bisa berenang ...” Shun terbata-bata.
“Ah, sial!”
“Hei, lihat! Ada yang mencoba menolong Miki!”
Kamera segera diarahkan ke tengah laut, namun ....
“Sreeek ... kesreeek ...”
Terlihat seperti semut memenuhi layar.
“Hei, mesum! Kameramu rusak!”
“Ah, tidak mungkin! Mana kulihat!” Seiji segera merebut kameranya kembali.
“Ak ..... ak ....sreeek .... sreeek ...” layar masih buram, walaupun selama seperkian detik masih menampakkan gambar normal. Tampak sesosok pemuda mengangkat tubuh Miki ke pantai, namun wajahnya tak jelas. Kemudian gambar kembali buram.
“Ah brengsek! Kenapa jadi rusak begini?” Seiji memukul-mukul kameranya, “Aaaah ...nah ini sudah benar!”
“Apa ... apa yang terjadi denganku?” terdengar suara Miki di rekaman itu.
“Apa yang tadi kaupikirkan?” terdengar suara Taka yang sedang kesal.
“Hei, bukannya ini pas Miki sudah sadar ya? Tba-tiba saja rekamannya normal pada saat kejadian ini. Tapi pas pemuda itu muncul, malah rusak. Aneh sekali.” Seiji tak habis pikir.
“Mungkin kameramu yang sudah bobrok.” Taka tertawa.
“Mungkin itu karma karena kameramu selalu kaupakai untuk perbuatan mesum!” protes Yuka.
“Tapi siapa ya pemuda itu? Kupikir hanya ada kita berenam saja di pantai saat itu.” tanya Miki penasaran.
“Ya, kupikir juga begitu. Mungkin saja ia penduduk lokal.” tambah Yuka.
“Apa mungkin ia penjaga pantai?” tanya Haruna yang lebih penasaran ketimbang mereka berdua.
“Tak mungkin. Bahkan tak ada yang berkunjung ke pantai itu.” kata Taka dari balik kemudi.
“Hah, kenapa?” tanya Yuka.
Seiji menoleh ke belakang, “Jadi kalian belum tahu pantainya berhantu?”
“APA? BERHANTU?”
Haruna memukul Taka dari belakang, “Jadi kau mengajak kami ke pantai berhantu?”
“Hei, kalian kan yang menginginkan pantai yang sepi? Di musim liburan seperti ini, itu hampir mustahil. Kecuali pantai itu, tak banyak yang datang ke sini karena takhyul bodoh ....”
“Itu bukan takhyul bodoh!” Shun yang semenjak tadi diam tiba-tiba angkat suara. “Kalian harus mulai menghormati kepercayaan orang lain. ”
“Jadi ...” Haruna sama sekali tak mempedulikan perkataan Shun, “apa takhyul bodohnya?”
“Mereka bilang pantai itu meminta tumbal. Tiap tahun selalu saja ada anak yang menghilang tersapu ombak di pantai itu. Karena itu orang tua di desa dekat pantai itu selalu melarang anaknya mendekati tempat itu, makanya sepi.”
Miki mulai merinding mendengar cerita itu. Hingga sekarang, sepertinya semua teman-temannya, termasuk Yuka, tak mempercayai ceritanya tentang anak yang tenggelam itu. Namun Miki yakin tentang apa yang dilihatnya.
“Seharusnya kau cerita sejak awal pada kami!” seru Yuka, “Miki hampir tenggelam gara-gara kalian!”
“Hei itu bukan salah kami!”
Miki mencoba bersandar, tak ingin terlalu larut dalam pertengkaran teman-temannya itu. Tiba-tiba ia menyadari ada sesuatu yang menusuk punggungnya. Ia mencoba meraihnya dan menyentuh sesuatu dengan permukaan halus. Seperti porselen.
Miki menengok ke belakang dan menatap benda itu dengan terkejut.
Sebuah cangkang kerang yang berbentuk seperti terompet.
Ia ingat ia hanya melemparkannya begitu saja di pasir saat mencoba menyelamatkan anak itu.
TO BE CONTINUED
Join This Site Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon