Paman Brandon masuk ke kamar setelah selesai menggosok giginya.
“Anak pungut itu masih belum juga pulang larut malam begini. Aku sudah mengunci pintunya, dengan begitu ia takkan bisa masuk.”
“Baguslah!” kata Bibi Martha sambil masih membaca buku di ranjangnya, “Biarkan saja anak itu tidur di luar. Dasar tak tahu balas budi. Sudah untung kita mau memberinya makan setiap hari.”
“Aku masih tak habis pikir,” kata Paman Brandon sambil naik ke tempat tidur, “Kenapa kakakku mau saja mengadopsi anak itu? Apa mungkin dia anaknya di luar nikah ya? Benar2 menghabiskan uang saja.”
“Tapi kita beruntung kakakmu mati dan mewariskan seluruh harta dan rumah ini kepada kita.” kata Bibi Martha sambil menutup bukunya, menaruh kaca matanya, dan bersiap tidur.
“Yah, sayang sekali harta warisan itu datang bersama kewajiban kita untuk mengurus anak itu hingga umur 18.”
“Berhentilah menggerutu. Tinggal satu tahun lagi, Sayang. Setelah itu kita usir anak itu dari rumah ini.”
“Kau benar, Sayang. Nah sekarang tidurlah. Aku sudah tak sabar mau memarahi anak itu besok pagi.”
Mereka berdua mematikan lampu kamar dan mulai berbaring dalam kegelapan. Tiba-tiba saja mereka mendengar suara.
“Brandon, dengar!” seru Bibi Martha, “Ada suara dari arah bawah!”
“Ah, sial! Itu pasti Liu mencoba mendobrak masuk!” Paman Brandon dengan kesal membuka selimutnya dan bangkit dari tempat tidur.
“Hati-hati, Brandon!”
“Tenanglah! Akan kuhajar habis2an anak itu kali ini.”
Paman Brandon keluar kamar dan dari kamar tidur, Bibi Martha dapat mendengar langkah kakinya menuruni tangga.
Bibi Martha kembali mencoba tidur. Ia tak mendengar suara apapun dari bawah, bahkan suara suaminya memukuli Liu. Ah, mungkin saja suara tadi hanyalah suara kucing atau angin dari luar.
Dengan mata terpejam, Bibi Martha bisa mendengar suara langkah kaki menaiki tangga. Itu pasti Brandon, pikir Bibi Martha.
Bibi Martha kemudian mendengar suara langkah kaki memasuki kamarnya. Paman Brandon tadi membiarkan pintu kamarnya terbuka.
“Apa kau sudah memukulinya, Sayang? Kok aku tidak mendengar suaranya?”
Anehnya, suara langkah kaki itu tidak terhenti di tepi ranjang, namun justru memutar, ke arah sisi ranjang yang Bibi Martha tiduri.
Bibi Martha pun membuka matanya dan menjerit melihat apa yang terhidang di depan matanya.
“AAAAAAAAAAAAAAAA!!!!”
Di depannya, sesosok wajah putih menatapnya. Dan senyum itu ... senyum legendaris itu yang konon tak ada seorangpun dapat hidup untuk menceritakannya, kecuali Liu.
Senyum Jeff The Killer.
Bibi Martha tak sempat berteriak ketika pembunuh itu mengiriskan pisaunya yang tajam ke lehernya. Wanita itu tersedak oleh darahnya sendiri yang segera mengalir deras melalui sayatan itu dan dari mulutnya.
Darah merah segera merembes di seprai, membasahi seluruh ranjang.
***
“Jadi kau tidak akan pulang malam ini?” tanya Kevin pada kakaknya, Keith, di telepon.
“Kurasa tidak, Dik.” ujar Keith di seberang telepon, “Polisi berhasil menangkap pelakunya. Benar, Jeff The Killer memang sudah mati. Ternyata Liu yang berada di balik semua ini. Polisi menangkap basah dia sedang membunuh sahabatnya sendiri, Adam.”
“Apa? Wow, itu GILA! Seharusnya sudah aku duga, sekali kau berasal dari keluarga psikopat, kau juga akan jadi psikopat juga.”
“Kurasa benar,” Keith berdehem, “Aku hampir sampai ke kantor polisi sekarang. Kurasa tak baik jika mereka melihatku berkendara sambil menelepon, jadi aku akan menutup teleponnya. Kau tak apa-apa kan sendirian di rumah?”
Kevin tertawa, “Jangan khawatir. Mom dan Dad bakal pulang kok sebentar lagi.”
“Oke, jaga dirimu Lil’ Bro!”
“Oke, Big Bro!”
Kevin menaruh teleponnya dan memasukkan semua sampah sisa makanan ke dalam garburator. Ia tak pernah menyukai alat itu. Membayangkan ada alat pencincang otomatis di bak cuci piringnya membuatnya bergidik ngeri. Namun di saat ia harus membereskan dapur sendirian seperti ini, barulah ia merasakan betapa praktisnya alat itu. Ia tinggal membuang semua sisa makanan di piring ke sana tanpa takut akan menyumbat saluran air. Mesin itu akan menghancurkannya menjadi potongan2 yang sangat kecil.
Ia selesai membereskan bak cuci piring dan menatap ke depan, ke arah jendela yang ada di depannya. Jantungnya terasa berhenti ketika dilihatnya sebuah wajah putih di kaca. Wajah itu berada tepat di belakangnya dan dengan cepat mengarahkan pisau ke tenggorokannya.
“Jangan khawatir ...” suara seraknya takkan pernah bisa Kevin lupakan seumur hidupnya. “Aku tidak datang ke sini untuk membunuhmu. Aku hanya ingin memberikan peringatan kecil kepada kakakmu ... bahwa balas dendam itu menyakitkan!”
Wajah tersenyum itu dengan cepat memegang tangan kanan Kevin dan mendorongnya ke lubang bak cuci piring ... dimana pisau2 garburator berputar di dalamnya.
“Tidak ! tidaaaak!’ jerit Kevin. Namun tenaga pembunuh itu terlalu kuat.
Dimasukkan tangan dan jari2 Kevin ke dalam lubang itu dan .....
“AAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!” jerit Kevin kesakitan ketika darah dan potongan daging terciprat keluar dari lubang itu.
***
“Aku tidak membunuhnya! Kalian harus tahu itu!” seru Liu di kantor polisi. Sudah jam 1 pagi dan mereka terus menginterogasinya di dalam ruangan berkaca. Keith dan sang kepala polisi menatapnya dari balik kaca itu, dimana Liu tak bisa melihat mereka.
“Apa benar dia yang membunuh mereka?” tanya Keith.
“Aku semula tak mempercayainya, namun ia ada di sana saat Adam ditemukan terbunuh, berlumuran darah.” kata kepala polisi. Masih terdengar nada simpati untuk Liu di dalam suaranya.
“Semuanya serasa klik bagiku.” komentar Keith. “Ia punya motif. Peter adalah adik anak yang pernah membully-nya. Amy adalah mantannya dan ia pasti merasa sakit hati setelah gadis itu mencampakkannya demi Peter. Dan dia ... aku selalu tahu ia menyimpan dendam atas apa yang kulakukan pada kakaknya.
“Tapi Adam? Apa alasannya membunuh Adam, sahabatnya sendiri?” sang kepala polisi masih tak mau menerima pemuda itu adalah tersangka pembunuhan beruntun.
“Mungkin Adam mengetahui rencana jahatnya dan Liu harus membungkamnya. Mungkin itu ...”
Tiba2 seorang polisi masuk dan memanggil sang kepala polisi, “Sir, ada sesuatu yang harus anda dengar!”
Sang kepala polisi keluar dan beberapa saat kemudian muncul di ruang interogasi.
“Lepaskan dia. Bukan dia pembunuhnya.”
“Apa?” pekik Keith tak percaya. Ia langsung bergegas keluar dan mengkonfrontasi sang kepala polisi. “Kenapa anda melepaskannya? Dia sudah membunuh banyak orang! Bahkan dua sahabat saya!”
“Maafkan aku memberikan harapan palsu, Keith.” sang kepala polisi memegang pundak Keith, “Bukan dia pria yang kami cari. Saat ia ditahan, terjadi insiden lain. Jadi mustahil ia pelakunya.”
“Apa? Insiden apa?”
“Keith, ini mungkin agak berat bagimu untuk mendengarnya ...”
“APA? APA YANG TERJADI?”
Tiba2 masuklah adik Keith, Kevin ke dalam kantor polisi. Wajahnya tampak murung dan terpukul. Sebuah perban menggulung tangan kanannya.
“Kevin! Demi Tuhan, apa yang terjadi terhadapmu?”
Serta merta Kevin langsung menghalau tangan Keith yang hendak memeluknya.
“INI SEMUA GARA-GARA KAU!”
“A ... apa maksudmu? Apa yang terjadi dengan tanganmu?”
“Jeff baru saja mengancamku! Kini jari2ku sudah putus!. Aku baru saja menjalani operasi. Mereka dapat menyambung jari2ku kembali, namun percuma saja ... aku takkan bisa menggunakannya lagi! Semua ini gara2 kau sehingga Jeff mengincarku! Kau ... kau sudah menghancurkan masa depanku!!!”
“Aku ... aku sungguh-sungguh tidak tahu ... Kevin, kumohon maafkan aku ...”
“TIDAK!” Kevin menjerit sambil menangis, “JAUHI AKU! AKU TAK MAU BERADA DI DEKATMU LAGI! PERGI!”
Liu semula tak merasakan perasaan lain selain benci pada Keith, namun melihat semua adegan drama itu, Liu merasakan sedikit simpati terhadapnya.
Mereka berdua sama.
Mereka adalah korban.
***
Liu berjalan berjingkat-jingkat di teras, tak ingin menimbulkan suara keras yang bisa membangunkan paman dan bibinya. Mereka benci jika dibangunkan tengah malam begini.
Namun Liu segera merasakan ada sesuatu yang aneh.
Pintu depan tidak dikunci.
Kenapa pamannya bisa seceroboh ini?
Begitu masuk, Liu seperti mencium aroma. Liu tak bisa mengingat bau apa itu. Aromanya sangat khas. Mungkin asalnya dari dapur, dari masakan paman dan bibinya, pikirnya.
Suasana di dalam rumah gelap. Liu berjalan melewati dapur, hendak naik ke kamarnya, namun ia merasakan kehadiran seseorang di dapur.
“Paman?” Liu melihat siluet dengan gerakan aneh di dapur. Liu kemudian menyalakan lampu dapur dan berteriak ketakutan.
“PAMAN!”
Ia melihat tubuh pamannya tak lagi bernyawa, terayun di tengah dapur. Lehernya terjerat tali dan lehernya mencuat keluar. Kedua bola matanya membelalak, seolah hendak melompat keluar. Ia tampaknya sangat ketakutan terhadap apapun yang terakhir dilihatnya sebelum ia mati.
“Astaga, Bibi!” Liu segera teringat akan bibinya. Ia segera bergegas naik dan berlari menyusuri lorong menuju kamar tidur utama.
Di sana pintu telah terbuka. Liu segera masuk dan menyalakan lampu. Apa yang dilihatnya di kamar tidur tak kalah mengerikan ketimbang apa yang ia lihat di dapur, bahkan jauh lebih mengerikan.
Di ranjang tergeletak tubuh bibinya yang tak lagi bernyawa. Lehernya telah digorok dan darah terciprat hingga ke dinding.
Dan di cermin rias bibinya, tertulis sebuah coretan yang jelas dibuat dengan darah.
Tulisan itu berbunyi,
“TIDURLAH!”
***
Liu terbangun dari tidurnya. Hari sudah siang. Sekolah meliburkannya karena kejaidan mengerikan yang baru saja ia alami. Dalam semalam ia kehilangan sahabatnya dan keluarganya yang tersisa.
Ia kini tinggal di motel. Sang kepala polisi dengan baik hati menawarinya untuk tinggal sementara waktu bersamanya, namun ia tak merasa enak terus-menerus menerima kebaikannya.
Di sisi lain, Ia tak mampu pulang. Ia tak mampu lagi tinggal di rumah itu. Di rumah dimana seluruh keluarganya terbunuh.
Jeff juga mati di situ. Bukan tubuhnya, namun jiwanya. Jeff yang baik, yang selalu menjaganya, yang ia anggap sebagai kakak kandungnya sendiri.
Ia sudah mati di sana.
Dan terlahir kembali sebagai iblis.
Kini ia tak lagi ragu. Jeff pastilah pelakunya. Siapa lagi yang bisa melakukan kejahatan semengerikan ini? Membantai manusia bak menggorok hewan ... hanya Jeff yang bisa melakukannya.
Hanya iblis di dalam dirinya yang bisa.
Liu menyalakan televisi. Ia tak berhasrat untuk melakukan apapun hari ini. Bahkan, ia tak ingin bangkit dari tempat tidurnya.
“Berita hari ini. Kota kecil New Davenport yang sempat mencicipi sekejab kedamaian setelah jeff The Killer yang meneror kota ini kini kembali diguncang prahara. Pembunuhan beruntun kembali terjadi, hanya sejenak setelah Jeff The Killer dinyatakan tewas. Polisi masih menyelidiki kematian Peter dan Amy Lee. Keduanya diserang di Devil’s Rock, lokasi dimana Jeff The Killer melompat di tepi jurang dan mayatnya tak pernah ditemukan.”
“Kematian beruntun kembali menimpa Craig dan Gavin, dua siswa New Davenport High. Dan baru tadi malam, tiga pembunuhan sadis dan satu percobaan pembunuhan kembali terjadi. Korbannya adalah Adam, siswa New Davenport High, serta Brandon dan Martha yang merupakan paman dan bibi kandung Jeff The Killer. Korban lainnya adalah Kevin yang tangannya putus akibat serangan Jeff The Killer di rumahnya.”
“Jeff rupanya telah mengubah modus operandinya dari pembunuhan diam2 yang berselang beberapa bulan dengan korban tunggal dalam tiap pembunuhannya, menjadi killing spree, membunuh banyak korban dalam rentang waktu pendek, bahkan mencapai 3 korban dalam semalam! Terakhir kali Jeff membunuh sebanyak ini adalah beberapa tahun lalu dimana ia memulai aksi terornya. Dalam satu malam, ia menghabisi kedua orang tuanya sendiri dan mencoba membunuh adik angkatnya, Liu yang juga sempat menjadi tersangka atas pembunuhan beruntun yang baru terjadi, meskipun ia kemudian dilepaskan karena alibi yang kuat serta ketiadaan bukti...”
Liu mematikan televisinya. Ia perlu keheningan untuk berpikir.
Reporter itu benar. Jeff tiba2 saja mengubah kebiasaannya. Ini sangat aneh! Dan empat usaha pembunuhan dalam semalam? Jeff tak pernah melakukan itu.
Liu segera mengambil peta. Ia menandai lokasi rumah sakit, kediamannya, serta rumah Keith dimana Kevin diserang.
Ketiga titik dalam peta itu semua berjauhan.
Jeff tak mungkin dapat mencapainya dalam semalam. Kecuali ia memiliki mobil.
Dan walaupun ia memiliki mobil, ia harus tetap terburu2 melakukannya. Dan apa tujuannya melakukan ini semua dalam satu malam?
Ada yang aneh dengan semua ini, Liu bisa merasakannya.
Ia harus mencari jawabannya.
Ia segera beranjak dari tempat tidur dan mandi. Ia harus pergi ke suatu tempat.
***
Liu turun dari taksi. Dari kejauhan ia sudah bisa mendengar debur ombak.
Devil’s Rock. Ia banyak mendengar tentang tempat ini. Jurang yang sangat indah dengan pemandangan laut yang luar biasa. Namun ini juga tempat paling mematikan di Port Davenport. Jurang ini telah memakan banyak korban, sejak koloni pertama menempati daerah ini ratusan tahun yang lalu. Jurang ini sering digunakan untuk bunuh diri, bahkan pembunuhan.
Port Davenport, walaupun terletak di tepi laut, bukanlah tempat wisata yang terkenal. Kota ini tak memiliki pantai berpasir yang indah, hanya bebatuan terjal pantai berkarang yang curam.
Liu turun ke batu2 karang yang seakan membentengi daratan dari debur ombak. Ombak di sini sangat besar. Semua orang benar, hampir mustahil bisa selamat dari sini apabila terjatuh dari atas. Batu2 karang yang tajam pasti akan langsung merobek dan mencabik tubuhmu. Selain itu, hempasan kencang ombak yang menerjang pasti akan langsung menenggelamkanmu.
Tapi ia tak bisa yakin sepenuhnya apabila ia belum melihat mayat Jeff.
Karena itu ia datang ke sini.
Namun jikapun ia menemukan mayatnya, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Siapa pelaku sebenarnya?
Dan kenapa?
Liu berdiri menatap lepas ke lautan. Batu2 karang di sini ternyata lebih terjal daripada dugaannya. Ia tak bisa turun dengan mudah. Sangat sulit bahkan untuk memijakkan kaki di sini. Pencariannya ini akan lebih sulit daripada yang ia perkirakan.
Tiba-tiba ia merasakan seutas tangan menggenggam pergelangan kakinya.
Liu hampir berteriak dan secara refleks melihat ke bawah.
“Keith? Apa yang kau lakukan di sini?”
“Dan kau sendiri?” katanya dari bawah,. Ia berjalan di antara karang2 dan bajunya tampak basah terkena hempasan air ombak.
“Kau butuh bantuan untuk naik?” Liu mengulurkan tangannya.
Keith dengan curiga menatapnya.
“Ayolah, aku takkan menjatuhkanmu. Apa kau masih mencurigaiku? Polisi sendiri sudah mengatakan aku bukan pelakunya.”
Dengan berat hati, Keith akhirnya menerima uluran tangan Liu dan pemuda itu menariknya ke atas.
“Terima kasih.” ucapnya lirih.
“Aku ikut menyesal atas apa yang terjadi dengan adikmu.”kata Liu penuh simpati.
Keith memandangnya sejenak, tak yakin dengan apa yang akan ia jawab.
“Aku juga ikut berduka cita atas kematian paman dan bibimu.”
“Terima kasih,” Liu memaksakan diri untuk tersenyum, “Bagaimana kondisi adikmu?”
“Well, selain kenyataan bahwa tangannya kini cacat seumur hidup dan ia sangat membenciku sekarang, kurasa ia baik2 saja.” jawabnya kecut sambil menatap ke laut. “Tadi kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau ada di sini?”
“Kurasa sama sepertimu. Mencari mayat Jeff.”
Keith menatap pemuda yang sejak dulu menjadi rivalnya itu, “Apa kau menemukannya?”
“Aku baru saja datang. Kau bagaimana? Beruntung?”
“Huh, menemukan ujung jarinya saja kita sudah bisa dianggap sangat beruntung. Jika Jeff sudah mati, tubuhnya pasti sudah habis dimangsa hewan laut.”
“Kau harus tahu ... semua yang terjadi ...” suara Liu terdengar bergetar dan emosional, “Bukan perbuatan Jeff ...”
“Aku tahu.” jawab Keith singkat.
“Apa? Kau sudah tahu itu?”
Keith tersenyum dengan sinis, “Aku mengenal Jeff seumur hidupku, Liu. Bahkan mungkin aku lebih mengenalnya ketimbang kau. Ketika kau menghabiskan hampir seluruh hidupmu berusaha lari dari seorang ‘predator’, maka untuk bertahan hidup kau harus mencoba memahaminya. Mempelajarinya.”
Ia menghela napas sebentar, “Yang kupelajari dari Jeff, jika ia memang ingin membunuhku, dan aku berani bertaruh pasti dia ingin, ia takkan memakai cara berbelit2 seperti ini. Menyabotase alat gym-ku, meledakkan mobilku, dan mengancam adikku, itu semua sangat ....”
“Bukan gayanya,” sambung Liu.
“Tepat sekali. Jeff yang sesungguhnya akan langsung muncul di depanku dan menggorok leherku. Tanpa basa-basi! Namun jika aku harus merenung dan mengingat, siapa di kota ini yang menginginkan kematianku, maka tersangkanya bisa meliputi seluruh remaja yang ada di sini.” Keith tertawa getir, “Bahkan mungkin kau.”
“Aku bukan pembunuh, Keith.”
“Tapi jika kau punya kesempatan, kau pasti akan melakukannya, bukan?” Keith menarik alisnya ke atas.
“Tidak, Keith.”Jawab Liu dengan tegas, “Aku bukan kakakku. Aku takkan melakukannya.”
Keith terdiam. Ia baru tersadar, ternyata ada banyak hal yang tidak ia ketahui mengenai pemuda ini.
“Aku baru ingat, Keith. Apa kau pernah ke rumah sakit akhir2 ini?”
***
Marisol masuk ke dalam kamar mandi perempuan. Tidak hanya pelajaran matematika terlalu menjemukan dan hampir membuatnya mati karena bosan, ia juga harus mencuci mukanya. Ia bisa digantung hidup2 bila Mr. Gardnier, kepala sekolah sekaligus guru matematikanya memergoki ia tertidur di kelas.
“Uhuk!” terdengar suara batuk dari salah satu bilik. Marisol menoleh. Jelas sekali itu adalah suara laki2.
“Apa ada orang di sini?”
Suasana hening. Hanya dia saat itu yang berada di kamar mandi.
“Hei, ini kamar mandi perempuan! Kau tak boleh masuk ke sini!”
Marisol mulai menghampiri bilik2 itu. Dari kolong bawah tiap pintu, biasanya ia bisa melihat apakah ada orang di tiap bilik. Saat itu, tak ada satupun kaki yang terlihat. Namun Marisol berpikir, mungkin saja pria itu berjongkok di atas kloset sehingga kakinya tak terlihat.
“Aku akan melaporkanmu ke Mr. Gardnier!” ancam Marisol.
Dalam hati ia berpikir, hukuman macam apa yang akan diberikan guru killer semacam Mr. Gardnier kepada cowok mesum yang bersembunyi di toilet wanita? Mungkin kerja rodi hingga ia lulus nanti.
Marisol mulai membuka bilik2 yang ada di sana, semuanya ada lima bilik. Ia membuka pintu bilik pertama.
Kosong.
Ia membuka bilik kedua.
Kosong.
Ia berjalan ke bilik ketiga dan membukanya.
Kosong.
Bilik keempat.
Dengan perlahan, Marisol membukanya.
Pintu terayun ke dalam.
Di dalam juga kosong.
Marisol menatap bilik terakhir.
Berarti di sini ia bersembunyi.
Dengan agak gemetar, tangan Marisol menyentuh pintu itu.
Dan mulai mendorongnya.
“Marisol?”
Gadis itu hampir melompat karena kaget. Ia menoleh dan melihat Tessa masuk melalui pintu.
“Astaga! Kau membuatku kaget.”
Tessa tertawa, “Maaf, maaf. Apa yang sedang kau lakukan?”
“Kupikir aku mendengar suara cowok dari balik bilik ini tadi.”
Tessa tertawa, “Ada cowok bersembunyi di kamar mandi cewek? Well, dia pasti sudah bosan hidup. Lupakan Jeff The Killer. Hukuman Mr. Gardnier bakalan lebih sadis jika ia memergokinya.”
“Yah, kurasa kau benar.” Marisol ikut tertawa, “Mana mungkin ada laki2 di sini. Aku hanya paranoid.” Ia kemudian berjalan ke arah ke cermin besar di depan wastafel. Tessa mengikutinya dari belakang,
Saat Marisol berjalan, tiba2 ia melihat sesosok pria berwajah putih keluar dari dalam bilik terakhir dengan mengacungkan sebilah pisau.
Ia tepat berada di belakang Tessa.
“TESSA! AWAAAAS!!!”
TO BE CONTINUED
Join This Site Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon