Ia masih bisa melihatnya? Apa yang ia lihat?
Aku menoleh, namun tak ada apapun di sana. Hanya pintu geser yang terbuat dari kertas, itupun dalam keadaan tertutup.
Aku tak mengerti apa yang ia bicarakan. Sama sekali tidak. Aku berpikir ia sudah kehilangan akal sehatnya. Atau mungkin ia dirasuki oleh sesuatu.
“Aku memang berada di bawah saat itu, namun aku melihat sesuatu.” mulutnya gemetaran, namun ia berbicara dengan sangat jelas.
“Maksudmu kau melihat apa yang kulakukan di atas? Dengan sampah-sampah itu?”
“Tidak ... ya ... maksudku aku memang melihatmu. Namun bukan itu saja. Begitu kau sampai ke atas, aku bisa melihatnya dengan jelas ...”
Jujur, sebenarnya aku sama sekali tak mau mendengar apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Apa yang kualami kemarin saja sudah sangat seram. Namun tampaknya Shoji sudah tak mampu memendamnya lagi, ia harus menceritakannya pada orang lain. Ia dan Takumi mendengarkan dengan serius ceritaku kemarin dan itu membantuku. Kini, aku harus mendengar apa yang harus ia katakan.
“Apa yang kau lihat?” aku bertanya, walaupun aku sendiri takut dengan kebenarannya.
“Bayangan ...” ia bergumam, seolah-olah sedang bicara dengan dirinya sendiri.
“Bayangan?” tanyaku lagi.
“Ya,” ia mengangguk, “Pertama kupikir itu bayanganmu. Namun ketika kau berjongkok di lantai dan mulai memakan... yah, itu ... bayangan itu masih tetap bergerak. Aku melihat bayanganmu menciut ketika kau jongkok dan bayangan kami juga tak sampai sejauh itu. Namun bayangan-bayangan itu .... mereka bergerak. Mungkin ada tiga atau empat dari mereka.”
Aku merinding di sekujur tubuhku.
Ini pasti sebuah lelucon! Namun Shoji nampak serius.
“Namun hanya ada aku di sana.” kataku.
“Aku tahu ...” kata Shoji.
“Selain itu,” kataku lagi, “Tak mungkin tempat sesempit itu bisa menampung hingga empat atau lima orang. Hanya ada cukup ruangan untukku sendiri di sana.”
“Mereka bukan manusia. Aku cukup yakin hal itu.”
Aku hanya terdiam, tak mampu menyangkal pernyataan itu.
“Tak mungkin mereka manusia ...” ia kembali bergumam.
“Lalu apa mereka itu?”
“Mereka semua terjebak di dinding.”
“Hah?” aku tak mengerti apa yang ia coba katakan.
“Mereka semua seperti laba-laba.” Ia menjelaskan, “Mereka semua bergerak menjalari dinding. Seperti laba-laba.” Napasnya menjadi terengah-engah ketika ia mencoba menjelaskan.
“Tenanglah,” kataku, “Ambil napas dalam-dalam, oke? Semuanya baik-baik saja sekarang. Kami ada di sini untukmu.”
“Mereka bukan manusia,” ia terus berkata, “Tidak, mereka bukan manusia! Bahkan bayangan mereka tak seperti manusia. Ehm ... mereka sedikit tampak seperti manusia, namun ada yang ganjil ...”
Ia tampak seperti ingin mengatakan sesuatu, namun tak mampu menemukan kata yang tepat. “Sesuatu dengan bentuk seperti bayangan manusia menjalari dinding. Seperti itukah yang kau lihat?”
Shoji mengangguk dengan enggan. Jantungku berdetak dengan kencang. Oke, bayangan yang ia lihat jelas bukanlah bayanganku. Tidaklah mungkin bayanganku bisa bergerak di sepanjang dinding dan langit-langit seperti yang ia deskripsikan. Bahkan jika mereka memang bayangan, mereka pasti berasal dari sesuatu kan? Dan tak ada siapapun selain aku di sana.
Dan jika mereka memang ada, mengapa aku tak menyadari mereka menjalar di sekelilingku saat itu?
Namun bagaimana jika aku salah?
Bagaimana jika suara napas dan garukan itu yang kudengar saat itu tak berasal dari balik pintu?
Mungkinkah saat itu mereka ada di sekelilingku?
Aku menjadi pusing oleh rasa takut. Kini aku mengerti mengapa Shoji meminta maaf padaku tadi. Ia melihat bayangan-bayangan itu di sekelilingku, namun ia tak mampu menolongku.
“Ma...maafkan aku tadi berteriak kepadamu.” Ia meminta maaf pada Takumi.
“Tidak apa-apa,” kata Takumi, “Justru aku yang harus minta maaf.”
Suasana menjadi canggung dan kemudianTakumi menanyakan sesuatu yang memang menggangguku sejak tadi.
“Kamu bilang kamu masih bisa melihat mereka?” tanyanya pada Shoji.
Shoji segera menjawab, “Oh, maaf.” Terlihat jelas ia memasang senyum palsu di wajahnya, “Aku hanya meracau tadi. Maaf, aku baik-baik saja.”
Terlihat jelas bahwa ia sedang berbohong. Matanya terlihat terfokus pada sesuatu selain kami. Sesuatu yang ada di kamar ini.
Aku tak tahu, tapi apa yang mengangguku adalah otot di bawah mata tampak berkedut. Hal itu terlihat sangat aneh. Seakan-akan ia memperhatikan sesuatu.
Namun baik aku maupun Takumi tak mau bertanya lebih jauh. Silakan anggap aku pengecut, namun aku memang sangat ketakutan saat itu dan tak mampu bertanya lebih jauh lagi. Aku tahu Shoji sedang menyembunyikan sesuatu. Namun aku juga terlalu takut untuk mengetahui jawabannya. Ini semua bisa membuatku gila!
Setelah kesunyian sejenak, kami mendengar Misaki, gadis muda yang tinggal di rumah ini, memanggil kami. Sarapan sudah siap. Kami ternyata sudah menghabiskan waktu cukup lama dalam perbincangan tadi.
Sebenarnya aku tak memiliki selera makan sedikitpun pagi ini, namun akan terlihat buruk jika kami tidak muncul untuk sarapan. Kami harus pergi. Jadi aku berdiri dan berkata kepada yang lain.
“Secepatnya kita pergi, semakin baik.” aku memulai, “Aku akan mengatakan bahwa kita berhenti setelah sarapan.”
“Ide yang bagus.” Takumi mengangguk.
“Aku tak mau makan,” kata Shoji, “Takumi, kau membawa laptop kan? Bisakah aku meminjamnya sebentar?”
“Silakan, tapi kau harus makan sesuatu!”
“Ada sesuatu yang ingin kucari,” ia bersikeras, “Aku tak punya banyak waktu. Maaf, tapi kalian berdua silakan makan duluan tanpa aku.”
“Baiklah,” jawabku, “Aku akan meminta Misaki membawakanmu beberapa onigiri.”
“Terima kasih.”
“Komputernya ada di tasku,” kata Takumi, “Gunakan saja semaumu. Seharusnya komputer itu sudah terhubung dengan internet.”
Takumi dan aku pergi ke ruang makan untuk menyantap sarapan kami. Aku hanya ingin berperilaku senormal mungkin pagi ini agar sang pemilik hotel tak curiga. Jadi kami pergi ke ruang makan dan di sana sudah duduk Makiko-san, menunggu kami.
Sejenak ia melihat luka-luka di kakiku, kemudian tersenyum lebar ke arahku.
TO BE CONTINUED
Join This Site Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon