“Selamat pagi! Apa kalian tidur dengan nyenyak?” ia selalu menanyakan pertanyaan yang sama tiap pagi semenjak kami tiba. Namun entah kenapa, pertanyaannya kali ini seperti memiliki maksud lain. Aku merasa sangat gugup, jadi Takumi yang menjawabnya.
“Ya, maaf kami terlambat bangun pagi ini.” Ia menepuk bahuku agar maju ke meja makan. Aku terkejut Takumi yang pemarah ternyata bisa bersikap setenang ini setelah apa yang terjadi pada kami. Ia mengatakan bahwa Shoji merasa tak enak badan sehingga tak bisa ikut makan bersama kami. Kemudian ia bertanya apakah Misaki bisa membawakan beberapa onigiri untuknya.
“Oh, tentu saja,” jawabnya dengan nada khawatir, “Jika ia sedang sakit, maka seharusnya ia beristirahat saja.”
Kami kemudian duduk tanpa membicarakan tentang Shoji lagi. Kami tak memikirkan hal lain selain berhenti dari tempat ini.
Selama aku makan, Makiko hanya tersenyum ke arahku. Misaki dan Ryuichi pasti juga merasakan sesuatu yang aneh, sebab mereka hanya menatap bolak-balik antara aku dan Makiko. Aku bertambah gugup, bahkan kadang tak mampu menggerakkan sumpitku. Di lain pihak, Takumi duduk dengan tenang dan menikmati makanannya.
Kami merasa tak nyaman, sehingga kami dengan cepat menghabiskan sarapan kami. Ketika kami selesai, kami kembali ke kamar untuk menjemput Shoji agar kami bertiga bisa segera berpamitan dengan Makiko.
Dalam perjalanan ke kamar, kami mendengarnya sedang berbicara. Tampaknya ia sedang menelepon seseorang. Takumi dan aku tak mau menganggunya, jadi kamu duduk dan menunggunya hingga rampung.
“Ya, harus dilakukan hari ini.” Ia terdiam sejenak, menunggu jawaban dari orang yang diteleponnya. “Oh ... terima kasih ... ya ... ya .... aku akan menanyakannya ... terima kasih.” Kemudian ia menutup teleponnya.
Tampaknya ia sudah merencanakan untuk pergi ke suatu tempat setelah kami menyelesaikan urusan kami dengan penginapan ini. Takumi dan aku merasa tak enak menanyakan urusannya, jadi kami hanya mengajaknya ke ruang makan bersama-sama.
Misaki sedang bersih-bersih, namun Makiko tak nampak. Kemudian aku berpikir, apa ia sedang berada di lantai atas sekarang? Bayangan ia sedang membawa senampan makanan ke lantai dua muncul di benakku. Ia pasti menumpuk makanan yang baru ke atas makanan yang lama setiap hari. Lama-kelamaan ia membuat semacam gunung penuh sampah di sana.
Tapi kenapa? Apa tujuannya? Namun aku segera menghentikan pikiran itu. Satu-satunya yang penting sekarang adalah pergi dari tempat ini secepat mungkin. Ini saatnya mengucapkan selamat tinggal dan melupakan apapun yang kami alami kemarin. Aku harus melupakannya!
Takumi bertanya pada Misaki dimana Makiko berada.
“Oh, Makiko-san sedang menyirami tanaman. Beliau akan segera kembali ke sini,” ia berpaling pada Shoji, “Aku akan membuat onigirinya, tolong tunggu sebentar ya.” Ia tersenyum dengan manis lalu pergi ke arah dapur.
Oh, Misaki yang cantik. Seandainya semua ini tak terjadi, sebenarnya aku ingin mengenalmu lebih jauh.
Kami menunggu Makiko kembali. Ketika ia tiba di ruangan, ia sepertinya sudah tahu ada sesuatu yang salah. Iapun duduk dan menatap kami.
“Ada apa ini? Kenapa kalian berkumpul di sini”
Aku menyiapkan diriku dan mulai berkata mewakili yang lain, “Bu, dapatkah kami berbicara sebentar dengan anda?”
“Tentang apa? Kalian tampaknya serius sekali?”
“Ehm. Langsung saja, kami ingin berhenti.”
Ekspresi Makiko tak berubah. Ia terdiam selama beberapa saat. Kami sangat merasa tak nyaman dengan ia diam seperti itu. Tampaknya ia sudah menduga bahwa ini akan terjadi.
Akhirnya, kesunyian pun pecah.
“Oh, aku mengerti. Seperti aku tak bisa melakukan apapun untuk membuat kalian berubah pikiran kan, anak-anak?” ia tertawa sedikit lalu melanjutkan pembicaraan tentang gaji kami dan juga meminta kami membersihkan kamar kami sebelum pergi. Ia meminta kami menghadapnya lagi setelah kami selesai beres-beres.
Setelah percakapan singkat yang cukup menegangkan itu, kami bertiga merasa lega. Namun masih ada sesuatu yang terasa janggal bagiku.
Kami segera bersiap-siap. Kami membereskan barang-barang kami dan membersihkan kamar kami.
Sejak memulai pekerjaan kami, sebenarnya kami tak pernah menghabiskan waktu di kamar ini. Selepas bekerja, biasanya kami akan pergi ke pantai lalu pulang saat malam dan langsung tidur. Untungnya, ini berarti kami tak pernah membuat kamar ini terlalu berantakan dan dalam waktu singkat, kamar ini kembali seperti semula seperti sebelum kami datang.
Setelah kami selesai bersih-bersih, kami memanggil Makiko. Ia, Ryuichi, dan Misaki yang terlihat sedih kemudian duduk bersama dengan kami.
“Kami di sini tak lama,” aku mulai berpamitan dengan mereka, “Namun terima kasih sekali atas segala kebaikan kalian terhadap kami selama kami di sini. Maaf jika kami harus berhenti mendadak seperti ini.” Kami bertiga kemudian membungkuk ke arah mereka.
“Tidak...tidak...justru kamilah yang harus berterima kasih.” Makiko kemudian memberikan amplop kepada masing-masing dari kami, “Ini tidak banyak, tapi kumohon, terimalah! Ini juga ada hadiah untuk kalian.” Ia juga menyertakan sebuah tas kecil, seperti tempat untuk uang koin.
“Jaga diri kalian baik-baik.” Misaki berkata dengan raut wajah sedih, bahkan ia terlihat hampir menangis. Ia kemudian memberikan kami bungkusan berisi onigiri, “Aku membuatnya cukup untuk kalian bertiga.”
Hei, hei ... kumohon, hentikan! Kau akan membuatku menangis! Aku bahkan tak bisa menatap wajahnya lama-lama. Aku bahkan sedikit tercekat, memikirkan kami akan berpisah dengan orang-orang yang sudah begitu baik dengan kami.
Kami mengucapkan selamat tinggal dan keluar dari penginapan itu.
Sebenarnya ada sebuah pemberhentian bus di dekat penginapan itu, namun kami setuju untuk naik taksi saja untuk kembali ke stasiun kereta. Ryuichi bertanya apa kami membutuhkan tumpangan, namun Shoji menolak dengan halus. Misaki kemudian memanggilkan taksi untuk kami.
Ketika taksi itu tiba, Makiko mengantar kami ke mobil. Situsasi saat itu memang tampak seperti perpisahan yang menguras emosi, namun sebenarnya kami sedang mencoba melarikan diri.
Tepat sebelum aku masuk ke taksi, aku menoleh. Aku melihat pintu menuju ke lantai dua sedikit terbuka. Ini aneh, pikirku, Makiko tak pernah membiarkannya terbuka sebelum ini dan selalu menutupnya rapat-rapat. Aku mengalihkan pandanganku dan masuk ke dalam mobil. Kami mengatakan pada sopir kemana kami akan pergi dan ia menyalakan taksinya.
Namun setelah kami berkendara sebentar dan pengiapan itu tak terlihat lagi, Shoji mengatakan pada sang sopir bahwa ia berubah pikiran dan memintanya mengubah arah. Ia memberikan catatan pada sang sopir kemana ia harus pergi.
“Benar kau mau ke sini?” tanya sang sopir dengan ragu, “Ongkosnya akan cukup mahal.”
“Jangan pikirkan itu.” Shoji bersikeras. Ia menoleh dan menatap kami berdua. “Aku harus pergi ke suatu tempat dan kuharap kalian berdua ikut denganku.”
Takumi dan aku menatap satu sama lain dengan bingung. Kemana kami akan pergi? Kami ingin bertanya, namun kami berdua sangat gugup dengan perilakunya yang aneh sejak pagi ini. Ia mungkin akan marah lagi jika kami menanyakannya, sama seperti ia marah pada Takumi tadi.
Namun setelah kami berkendara beberapa saat,
“Hei, mobil itu mengikuti kita. Bukankah mobil itu berasal dari tempat kalian berangkat tadi?”
TO BE CONTINUED
Join This Site Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon