“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!”
“Taka!” Seiji yang paling tampak khawatir di antara mereka, sebab ia adalah sahabat Taka. Mereka berenam akhirnya sampai di tempat mobil mereka tabrakan tadi. Teriakan itu masih menggema di tengah kegelapan malam. Lampu-lampu senter mereka menimpa permukaan mobil. Para gadis hampir menjerit melihat noda-noda darah di bagian luar mobil. Namun tak ada tanda-tanda Taka berada di tempat dimana ia tadi duduk.
“Taka! Taka!”
“Jangan ... jangan ...” suara Taka seperti tangis ketakutan. Namun itu membuat mereka tahu ia masih ada di sini.
Masa-Kun yang pertama tiba di mobil itu dan mengintip ke dalam.
“Ia ada di sini!”
Tubuh Taka tampak meringkuk di dalam kursi belakang. Ia tampak sangat ketakutan. Tubuhnya gemetar sangat kencang, bahkan sampai membuat mobil itu ikut bergetar juga. Ia menatap ke depan dengan wajah pucat pasi. Air mata mengalir dengan deras di matanya. Teman-temannya ada di depannya, berusaha menenangkannya, namun ia tampaknya tak mengenali mereka. Ia masih sangat histeris.
“Taka-kun, tenanglah!” ujar Yuka, “Apa yang terjadi denganmu?”
Yuka berusaha menyentuh bahu Taka untuk menenangkannya. Namun Taka justru mengibaskan tangan Yuka dan berteriak makin histeris.
“Tidaaaak! Jangaaaaaaan!!!”
“Taka! Taka! Tenanglah!”
Miki mendengar sesuatu bergemerisik di belakangnya. Ia menengok ke belakang dan melihat sesuatu berwarna putih merayap di tanah dan bergerak memasuki hutan, meninggalkan mereka dan menghilang di balik semak-semak.
“Apa ... apa yang ia lihat sehingga ia ketakutan seperti itu?” Seiji ikut merasa ketakutan melihat temannya itu bertingkah sangat aneh, seperti kesurupan.
“Sesuatu itu ... sesuatu itu baru saja mengawasi kita ...” kata Miki.
“Hah?” semua menoleh ke arahnya.
Miki menatap teman-temannya, “Apapun itu, ia tahu kita datang ... mengawasi kita dari balik semak-semak ... dan baru saja pergi ...”
“Apa yang kau katakan?” Seiji menatapnya dengan jijik, “Taka dalam kondisi seperti ini dan kau masih mengatakan hal aneh seperti itu? Dasar perempuan aneh!”
“Sudahlah kalian jangan bertengkar! Tempat ini tidak aman! Kita harus segera pergi dari sini! Dengar ... letak desa sudah tak begitu jauh lagi. Kita bisa berjalan ke sana ....” kata Masa-kun dengan wajah cemas.
“Apa kau gila? Taka tak bisa berjalan! Lebih aman jika kita menunggu bantuan di sini sampai pagi!” Seiji menolak ide itu.
“Tidak, kalian tak mengerti .....”
“NGUUUUUUUUNG .....”
Terdengar suara dengung sirine. Arahnya dari pantai.
“NGUUUUUUUUUUUUUUUUUUUNG ...”
“Ya Tuhan, itu adalah ....”
“NGUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUNG!” sirine itu bertambah keras.
“Itu sirine tsunami! Semuanya pergi! PERGI!”
***
Entah kekuatan apa yang mendorong mereka hingga mampu berjalan hingga ke desa. Secara bergantian mereka membopong Taka yang kini menjadi seperti mayat hidup. Ia tak bisa mengenali teman-temannya. Ia selalu mengerang setiap saat. Bukan karena kesakitan, namun karena takut. Ya, rasa takut itu sepertinya menelan semua rasa sakitnya. Ia selalu menatap ke sekelilingnya dengan cemas, seakan-akan menanti makhluk itu kembali.
Sirine itu masih berdengung. Mereka selalu berusaha untuk tetap berada di tempat tinggi. Namun mereka tahu tak bisa tetap di hutan, karena apapun yang menakut-nakuti Taka tadi masih berkeliaran bebas di luar sana.
“Oh tidak!” Masa-kun menatap jalanan di bawahnya. Puluhan cahaya bergerak meninggalkan desa. Akhirnya mereka menyadari apa itu.
Lampu mobil. Para penduduk sudah mulai mengevakuasi desa. Mereka berbondong-bondong meninggalkan tempat itu.
“Tapi Taka membutuhkan pertolongan ... apa masih ada orang di desa?”
“Semoga saja masih. Harus!” kata Masa-kun. Entah mengapa, mereka mempercayakan Masa-kun untuk memimpin mereka semenjak Taka tak mampu lagi membedakan realita dan khayalan. Mungkin karena ia sudah tahu dengan baik tempat ini. Mungkin karena tinggal ia laki-laki yang bisa diharapkan di antara mereka. Mungkin karena ia mengetahui sesuatu yang tidak mereka ketahui.
Miki sendiri percaya padanya. Namun ia tahu, seharusnya ia tak terlalu menaruh kepercayaan penuh pada pemuda itu. Miki masih merasa Masa-kun merahasiakan sesuatu dari mereka.
Mereka memasuki desa. Suara sirine akhirnya berakhir, namun mereka tahu, situasi genting yang mereka hadapi belumlah usai.
Semua rumah yang mereka lewati dalam keadaan gelap. Tak ada satupun nyala lampu kecuali ...
“Hei, lihat! Masih ada orang di sana!”
Mereka bertujuh segera menuju ke rumah itu, sebuah kediaman bergaya Jepang kuno.
“B&B Cottage.” ucap Shun. “Kurasa ini sebuah penginapan.”
Mereka mengetuk-ngetuk pintu dan berteriak, “Tolong kami! Kumohon, tolong kami!”
Masa-Kun menggedor-gedor pintu, “Jika ada orang di sini, tolong jawab kami!”
Hotel itu hanya satu-satunya rumah yang menyala. Di balik pintu kaca, seorang gadis berpakaian yukata muncul dari dalam ruangan, menatap mereka dengan curiga.
“Syukurlah, kumohon biarkan kami masuk! Teman kami terluka!”
Gadis itu hanya terdiam sejenak lalu berkata, “Sa ... saya tak bisa membiarkan kalian masuk. Saya harus menunggu tuan saya pulang dulu.”
“Dengar, ini rumah milik Tuan Ryuichi dan Makiko-san bukan? Aku mengenal mereka. Kumohon, biarkan kami masuk. Kami butuh bantuan!” pinta Masa-kun dari balik pintu.
Mungkin iba melihat beberapa dari mereka adalah gadis muda dan mereka juga tengah menggendong seseorang yang sedang sakit, akhirnya dengan enggan, gadis itu membuka kunci pintu dan membiarkan mereka masuk.
“Syukurlah, terima kasih sekali!” Masa-kun masuk bersama yang lainnya. “Siapa namamu Nona?”
“Na ... nama saya Misaki. Apa ... apa yang terjadi dengannya?” ia menatap Taka yang dipapah oleh Shun dan Seiji. Tatapan matanya masih kosong dan darah di lukanya masih belum kering.
“Kami mengalami kecelakan, Misaki-chan. Kumohon, biarkan kami naik ke lantai dua. Tsunami akan segera datang.”
Wajah gadis itu langsung pucat, “Tidak! Kalian tak boleh naik ke sana!”
“Tapi tsunaminya akan segera datang!” Yuka bersikeras.
“Ya, sirine itu ....”
Misaki menggeleng, “Itu bukan tsunami. Tak ada tsunami di desa kami selama ratusan tahun.”
“Tapi sirine itu ...”
“Sirine itu untuk memperingatkan warga desa, namun bukan tsunami.” Misaki segera menutup dan mengunci pintu. “Melainkan sesuatu yang lebih mengerikan.”
“Lalu kenapa kau belum pergi?”
“Saya tak bisa. Tuan saya membawa istrinya ke kuil dan mereka belum kembali. Saya tak bisa meninggalkan resort ini begitu saja.”
“Haaaaah ... haaaah ...” Taka tiba-tiba mengerang lagi dengan ketakutan, “Mereka datang! Mereka datang!”
“Taka, tenanglah!” namun sepertinya semua usaha mereka percuma. Taka tak mendengarkan mereka lagi.
“Dengar, Nona! Apa kau memiliki kamar kosong? Teman kami butuh istirahat. Ia mengalami shock.”
“Baik,” Misaki mengangguk, “Kalian bisa membawanya ke salah satu kamar tamu kami. Saya akan mengantar kalian.”
Shun dan Seiji membawa Taka mengikuti Misaki. Para gadis berada di ruang depan bersama Masa-kun.
“Astaga, banyak yang terjadi semenjak aku pergi.” Masa-kun tertunduk lesu di depan pintu. Ia kemudian mengangkat kepalanya, menatap ke hiasan cangkang kerang yang ditempel di dinding lorong, “Dulu tempat ini bahkan bukanlah sebuah hotel.”
“Apakah kita bisa menggunakan telepon?” tanya Haruna.
“Kurasa tidak.” Misaki keluar dari dalam ruangan, diikuti Seiji dan Shun. “Jalur telepon selalu mati jika sirine berbunyi.”
“Kalian meninggalkan Taka sendirian?” tanya Yuka.
“Tak ada yang bisa kami lakukan untuknya.” Shun mengangkat bahunya.
“Ia terus-terusan berhalusinasi tentang makhluk yang ia lihat.” kata Seiji. “Demi Tuhan, makhluk apa yang bisa membuatnya ketakutan setengah mati seperti itu?”
“Apa kau tahu sesuatu?” tanya Miki tiba-tiba sambil menatap Masa-kun. “Sepertinya kau merahasiakan sesuatu dari kami.”
Masa-kun mendongak ke atas dan menatapnya. Melihat mata teduhnya, ingin sekali Miki mempercayainya. Pemuda itu jelas diselubungi misteri, namun dari raut wajahnya, jelas ia sama bingungnya dengan mereka.
“Kau juga bisa melihatnya bukan?” tanya Masa-kun. Miki berniat menjawabnya namun ia kemudian sadar, bibir Masa-kun sama sekali tak bergerak.
Bagaimana mungkin ia bisa mendengar suaranya?
“Kau bisa melihatnya kan Miki? Sejak kapan kau memiliki kemampuan seperti ini?”
“Apa-apaan ini?” tanya Miki dengan panik dalam hati, “Bagaimana ... bagaimana kau bisa berbicara dalam kepalaku?”
“Jadi, mereka sudah ada di sini?”
Tiba-tiba Miki mendengar satu suara lagi, kali ini seorang gadis. Miki menoleh ke arah Misaki. Ia tahu betul itu suaranya, namun lagi-lagi ia hanya tampak tak bergeming di tempatnya berdiri, tanpa menggerakkan bibirnya sedikitpun.
“Ada satu di hutan. Itu yang membuat salah satu teman kami hampir gila.” Masa-kun ganti menatap Misaki. “Sirine itu ... untuk memperingatkan warga kota akan kedatangan mereka bukan?”
“Tenanglah,” suara Misaki menggema di benak Miki, “Kalian akan aman di sini. Mereka takkan mendekati rumah yang memiliki kuil.”
“KUIL?” suara Masa-kun terdengar marah, “Ada kuil di rumah ini?”
“Tenanglah. Kuil itu membuat hal-hal buruk tak bisa masuk.” Misaki menjawab.
“Dan begitu pula hal-hal baik! Kuil itu membuat tanah di sekitarnya dikutuk!”
“Kalian berdua! Keluarlah dari kepalaku!” tanpa Miki sadari, ia menjerit sambil menutup kedua telinganya.
Teman-temannya memandangnya dengan aneh. Namun belum sempat mereka menegur Miki, tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam, tepat dari ruangan dimana Taka berada.
Mereka semua bergegas melihat keadaan Taka. Ia tengah meringkuk di dalam selimut di atas kasurnya. Ia terlihat gemetaran sangat hebat.
“Taka! Apa yang terjadi?”
Tangannya terulur dari dalam selimut, sementara seluruh tubuhnya masih tersembunyi di baliknya.
Ia menunjuk ke pintu geser kertas yang ada di depannya. Mereka semua tak bisa melihat apa yang ada di baliknya, namun Miki ...
Ia bisa melihat bayangan di belakangnya. Siluet mengerikan seseorang ... bukan, sesuatu .... dengan sendi-sendi yang membengkok dengan tidak wajar. Ia tengah merangkak dengan keempat kakinya dan berusaha membentur-benturkan kepalanya ke dinding kertas itu.
Miki hendak menjerit, namun ia kembali mendengar suara dari kepalanya.
“Tenanglah, ia takkan bisa masuk.”
Itu suara Misaki.
Miki yang tak tahan lagi akhirnya keluar.
“Aku akan menjaganya di sini. Ia hanya berhalusinasi saja. Kalian beristirahatlah dulu.” kata Shun.
***
“Jadi apa yang sebenarnya dilihat Taka?” tanya Seiji sambil mengutak-utik kameranya.
“Mungkin macan gunung seperti yang kau katakan.” kata Yuka, mencoba mencari penjelasan logis atas semua ini.
“Ya, aku juga akan ketakutan seperti itu jika melihat macan gunung hendak memakanku.” kata Haruna dengan lesu.
“Ditambah lagi kita ditakut-takuti oleh alarm tsunami palsu. Benar-benar malam yang penuh kesialan!” maki Seiji.
Mereka berempat beristirahat di sebuah kamar. Sementara Misaki tengah mempersiapkan sesuatu untuk dimakan Taka. Sedangkan Masa-kun, entah dimana ia sekarang. Miki ingin bertemu dengan dia. Namun anehnya, bukan untuk meminta penjelasan dari semua yang terjadi ini. Tetapi karena Miki mulai merasa resah jika tak melihatnya. Apakah ini pertanda dia mulai ...
“Ah, mustahil!” pikirnya.
Miki ingin sekali mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada teman-temannya, tentang makhluk yang ia lihat. Namun ia tahu takkan ada yang mempercayainya.
Kecuali Masa-Kun.
Miki meletakkan tangannya di tatami, mencoba untuk bersantai setelah malam panjang yang ia lalui.
Namun tangannya menyentuh sesuatu.
Halus seperti porselen, namun berduri.
Miki hampir menjerit, namun ia masih menahan dirinya.
Cangkang kerang spiral itu lagi-lagi berada di sampingnya.
Miki jelas-jelas ingat ia meninggalkannya di dalam mobil.
***
Tanpa ada yang menyadari, Shun menyelinap keluar dari kamar Taka dan mengendap-endap ke sebuah kamar. Ia menyadari, dari interiornya yang berantakan, ini pastilah kamar pribadi sang pemilik penginapan.
Ia mulai mengobrak-abrik isi lemari dan menemukan apa yang ia cari.
Sebuah buku.
Buku manual tepatnya.
Dari sampulnya yang lusuh, ia tahu benar bahwa usia buku ini pastilah sudah tua. Buku ini pastilah diturunkan dari generasi ke generasi.
Di Barat, buku semacam ini dinamakan “grimoire”.
Buku yang memuat panduan praktik ilmu hitam.
Shun membuka isinya. Tepat seperti yang ia duga, praktik pemanggilan arwah ke dalam tali pusar untuk kemudian menumbuhkan tubuh baru memang sudah dilakukan secara turun-temurun di desa ini.
Tanpa mereka tahu, Shun sudah melakukan berbagai penelitian tentang masa lalu desa ini. Ia mengetahui kebiasaan mengerikan yang mereka lakukan, menggunakan ritual ilmu hitam untuk membangkitkan anak mereka yang hilang di tengah laut.
Tapi Shun percaya, ritual ini tak hanya akan menciptakan zombie. Zombie hanyalah mayat hidup tak berotak, namun yang mereka ciptakan ... sangat berbeda. Mungkin pada tahap-tahap awal, sosok mereka sangatlah mengerikan dan sama sekali tak mirip dengan manusia normal. Namun Shun percaya, jika sudah mencapai tahap terakhir, maka mereka bisa kembali menjadi manusia seutuhnya, seperti saat mereka hidup.
Shun menyebutnya: transformasi yang sempurna.
Sayang sekali, Shun belum pernah mendengar ada yang mencapai tahap itu. Selalu saja usaha mereka digagalkan para biksu Shinto yang mencium praktik upacara ilmu hitam mereka. Tentu saja apa yang mereka lakukan bertentangan dengan ajaran agama dan yang lebih mengerikan lagi ...
Mungkin mengundang sesuatu yang bukan manusia ke dalam dunia ini.
Namun inilah alasan Shun datang ke desa ini.
Dan kini ia sudah mendapatkannya.
Sebuah benda berkilau mencuri perhatian Shun.
“Well, apa ini? Sebuah bonus!”
***
“Saya sudah mempersiapkan makanan untuk Taka.” Misaki muncul di depan pintu mereka sambil membawa senampan makanan. “Apakah tak apa jika saya masuk ke kamarnya?”
“Tentu saja, Misaki-chan.” jawab Yuka. “Shun ada di sana. Tapi biarkan kami mengantarmu jika kamu canggung. Kami juga ingin melihat keadaannya.”
Mereka berempat segera mengikuti Misaki. Miki masih penasaran dimana keberadaan Masa-kun sekarang. Tadi ia merasa terganggu dengan suaranya bergaung di kepalanya, tapi justru kini ia rindu ingin mendengar suaranya kembali.
Namun ketika mereka membuka pintu geser pintu kamar Taka, yang terdengar hanyalah suara jeritan Misaki dan suara ketika piring dibawanya jatuh dan pecah di lantai kayu.
Sedangkan yang lainnya tak mampu bergerak, apalagi bersuara, melihat apa yang terjadi di dalam kamar.
Tubuh Taka terayun bak pendulum di tengah ruangan. Selimut yang tadi ia gunakan kini melilit di lehernya.
TO BE CONTINUED
Join This Site Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon