“Ada apa? Kenapa kalian berteriak?” Shun berlari tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Wajahnya tampak pucat ketika melihat tubuh Taka yang tak lagi bernyawa tergantung di tengah kamar, dengan kursi di bawahnya.
“Keparat! Kemana saja kau!” Seiji mendorongnya dengan histeris, “Seharusnya kau menjaganya!”
“Ma ... maaf!” seru Shun, “Aku ... aku hanya ke kamar mandi sebentar. Aku tak mengira ia akan melakukannya ...”
“Tidak.” Terdengar suara di belakang mereka. Miki menoleh.
Masa-kun? Sejak kapan ia ada di sini?
“Bukankah tadi katanya kakinya sakit? Ia saja tak bisa berjalan dan harus dibantu agar sampai ke sini.” Masa-kun menatap darah yang mengering di paha Taka yang kini terayun berputar secara perlahan.
“Astaga.” Miki menutup mulutnya dengan shock begitu menyadari apa yang telah terjadi. Yuka hanya bisa melongo, sedangkan Haruna mulai menangis.
Taka tak mungkin naik ke sana.
Ia dibunuh.
***
“Kita harus memanggil polisi sekarang!” seru Seiji.
“Namun telepon tak bisa digunakan! Saya sudah mengatakannya pada kalian!” kata Misaki bersikeras. Ia mengikuti mereka berenam yang tergopoh-gopoh berjalan menuju ke pintu depan, dimana telepon berada.
“Siapa yang tega membunuh Taka?” Haruna terisak.
“Yang jelas bukan kita berempat.” kata Seiji dengan marah, “Sejak tadi kita selalu bersama di dalam kamar. Ini hanya menyisakan satu tersangka, kau!”
Semua menatap pria yang ditunjuk oleh Seiji. Shun.
“Ta ... tapi Shun tak punya alasan membunuh Taka!” Yuka berusaha membelanya, “Ia kan teman kita!”
“Teman?” Seiji tertawa sinis, “Apa kau tahu mengapa ia selalu ikut di geng kita, Yuka? Karena Taka memanfaatkannya. Ya, Taka hanya memanfaatkannya supaya mendapat nilai bagus! Dipikir lah pakai logika, tak mungkin orang kaya dan sepopuler Taka mau berteman dengan kutu buku culun seperti dia! Mungkin saja akhirnya si tolol ini menyadarinya dan membalas dendam!”
Wajah Shun tampak merah padam. Tanpa berkata apapun, ia berbalik pergi meninggalkan mereka.
“Hei, pembunuh! Tunggu!” Seiji hendak mengejarnya, namun keburu dihentikan Masa-kun, “Kau keterlaluan! Kau sama sekali tak punya bukti untuk menuduhnya!”
“Oh, dan kau, Mister Nice Guy? Dimana kau saat pembunuhan terjadi? Setahuku kau lenyap begitu saja, mungkin saja kau pelakunya!” tuduh Seiji.
“Kalian semua hentikan!” jerit Haruna. Tangisannya makin keras. “Kita ... kita harus keluar dari desa ini. Desa ini sudah dikutuk! Kejadian buruk selalu terjadi pada kita semenjak kita berada di pantai itu. Miki hampir tenggelam, mobil kita tabrakan, dan sekarang ...”
“Haruna, tenanglah.” Miki memeluk gadis itu, mencoba menenangkannya.
“Nyonya! Nyonya!” tiba Misaki menjerit ketika ia melihat ke luar.
Semua ikut melihat ke luar melalui pintu kaca dan melihat seorang wanita bergaun kimono putih berjalan di luar halaman resort. Ia melangkah menuju ke sebuah pintu, tepat di bawah lantai dua penginapan itu.
Ia kemudian membuka pintu itu dan mulai melangkah naik ke tangga.
“Nyonya Makiko!” Misaki mencoba membuka kunci pintu, namun Masa-kun melarangnya.
“Jangan! Itu terlalu berbahaya!”
“Namun Nyonya ada di luar ...”
Tiba-tiba telepon mereka berdering.
“What the fuck ...” Seiji terkejut.
Tanpa membuang waktu, Misaki segera mengangkatnya.
“Halo? Tuan Ryuichi!”
“Misaki! Kau masih di resort? Kenapa kau tak pergi bersama yang lainnya?”
“Tuan, dimana Anda? Mengapa Anda membiarkan Nyonya sendirian?”
“Apa maksudmu? Aku masih berada di kuil!”
“Saya melihat Nyonya Makiko di luar. Beliau naik ke lantai dua ...”
“Misaki, itu mustahil! Makiko sudah meninggal!” terdengar kepedihan dalam suara Ryuichi, “Para biksu tak bisa menyelamatkannya. Mereka juga tak membiarkanku pergi dari kuil ketika makhluk-makhluk itu keluar. Misaki, cepatlah bawa mobil dan keluar dari sana!”
Misaki menutup teleponnya dengan berurai air mata. Tiba-tiba Seiji dengan kasar menarik tangan gadis itu.
“Kau pembohong! Katamu telepon sudah tak berfungsi lagi!”
“Seiji, hentikan!” seru Yuka sambil menangkap tangan Seiji, “Ia perempuan!”
Misaki mengusap air mata di pipinya, “Telepon masih berfungsi, tapi tak bisa digunakan untuk menghubungi ke luar desa ini. Memang sudah dirancang seperti itu ketika sirine berbunyi. Agar dunia luar tak tahu apa yang terjadi di sini.”
“Apa ... apa maksudmu?”
“Seiji, kumohon tenanglah!” suara Masa-kun berubah menjadi lebih tenang, “Kami tak bisa menjelaskan apa yang terjadi di desa ini, namun kita hanya punya dua pilihan. Tetap berada di resort ini atau pergi dari desa ini.”
“Pergi dari sini!” Haruna masih menangis, “Kumohon, kita harus keluar dari tempat ini! Aku tak tahan lagi!”
Misaki menatap mereka sebentar lalu berkata, “Baiklah. Tuan masih memiliki satu mobil di belakang. Saya akan mengambil kuncinya dan membawa kalian semua pergi dari sini.”
Misaki, walaupun di tengah dukanya, masih berusaha tegar. Ia membuka pintu geser kertas di dekatnya dan bayangannya pun menghilang di lorong.
“Apa yang kita lakukan sekarang?” Miki menatap Masa-kun.
“Kita harus menunggunya.”
“Bagaimana dengan Shun?”
“Dia ...”
Perkataan Masa-kun terpotong oleh suara gebrakan yang keras. Seorang pria berumur paruh baya tiba-tiba muncul di depan pintu, berusaha masuk.
Wajah Masa-kun berubah cerah ketika melihatnya, “Pak Hiroshi? Ini saya Masahiro! Anda masih ingat dengan saya?”
Namun ia sama sekali tak menghiraukan perkataan Masa-kun, “Biarkan aku masuk! Mobil kami mogok dan makhluk-makhluk itu ... mereka sudah membunuh istri dan anakku!”
“Apa yang ia bicarakan?” seru Seiji.
“Hati-hati, Masa-kun! Ia membawa senapan!” jerit Miki.
“Pak Hiroshi, tenanglah!” seru Masa-kun, “Kami akan pergi dari sini, jadi ...”
“Biarkan aku masuk!” pria itu tiba-tiba meletuskan senjata untuk memecahkan kaca jendela pintu. Para gadis menjerit. Ia segera meraih pegangan pintu dan membuka kunci dengan paksa.
“Pak ... kumohon, tenanglah!”
Namun pria itu tampaknya sudah kehilangan kewarasannya, sama seperti yang menimpa Taka, namun berkali-kali lipat lebih parah. Mereka tahu ia takkan segan-segan menembak mereka jika keinginannya tak dipenuhi.
“Dimana mobilnya! Aku tahu Ryuichi masih memiliki mobil lain! Dimana!” ia menodongkan senapan itu ke arah mereka.
“Tenanglah, Pak! Misaki baru mencarikan kuncinya!”
“Tak ada waktu lagi!” wajahnya tampak panik, “Mereka akan menemukanku! Mereka ada dimana-mana!”
Matanya membelalak ketakutan ketika ia melihat bayangan bergerak di pintu geser kertas di depannya.
“Li ... lihat! Mereka ... mereka ada di sini!”
Ia segera mengarahkan moncong senapannya ke bayangan itu dan ketika pintu itu bergeser membuka ....
“Tidak! Jangan!!!!”
“DOR!!!!”
Misaki tak pernah menyadari apa yang terjadi dengannya. Ia langsung ambruk di atas lantai kayu dengan perut berlumuran darah.
“Misaki-chan! Misaki-chan!” jerit Miki. Ia segera memangku tubuh gadis itu, berusaha menyelamatkannya. Namun terlambat.
Ia sudah tak lagi bernyawa.
Yukatanya yang indah kini bernoda darah. Miki menatap dengan marah pria yang baru saja menembak gadis polos itu.
Pria yang dipanggil Hiroshi itu tak sempat merasakan penyesalan karena tiba-tiba dua makhluk ganjil berkulit sangat pucat menerkam tubuhnya. Salah satunya merangkak naik ke atas tubuhnya dan langsung mematahkan lehernya.
“Krak!”
Dua makhluk itu segera menyeret tubuh pria itu dari pandangan mereka sambil mengeluarkan suara aneh,
“Kyu-ai ... kyu-ai ...”
Dua makhluk lain berusaha masuk dan melangkah di atas pecahan kaca. Mata mereka bulat dan besar, seperti bola yang menempel di lubang tengkorak. Pupil mereka sangat kecil, hanya setitik warna hitam, bila dibandingkan ukuran mata mereka yang seperti membengkak. Kepala mereka botak dan mereka berjalan dengan merangkak dengan keempat kakinya, seperti seekor laba-laba. Jari-jari mereka sangat panjang dan mulut mereka sobek hingga hampir mencapai telinga, memamerkan gigi-gigi taring mereka yang kecil namun tajam.
“Kyu-ai ... kyu-ai!”
“Katamu mereka tak bisa masuk!” seru Miki.
“Mereka tak bisa mendobrak masuk. Namun jika pintu dibuka, itu seperti mengundang mereka ...” seru Masa-kun. “Ayo semua, cepat pergi lewat pintu belakang!”
“Haruna!” tiba-tiba Yuka menjerit, “Haruna tidak ada!”
***
Shun segera menyalakan mobil. Beruntung sekali ia menemukan kunci ini di kamar sang pemilik penginapan. Ia sebenarnya tak mau pergi sendiri seperti ini, namun setelah apa yang dikatakan Seiji tadi ... Shun memilih untuk meninggalkan mereka supaya mati membusuk di sini.
***
Haruna berlari keluar. Ia meninggalkan teman-temannya. Ia benar-benar tak bisa berada di sana lagi. Ia harus pergi dari desa ini.
Ia melihat nyala lampu dan suara derum mesin mobil.
Di tengah kegelapan, ia bisa melihat sebuah mobil bergerak hendak meninggalkan penginapan.
“Tunggu! Kumohon tunggu aku!”
***
Shun tak bisa melihat apapun dalam kegelapan. Ia hanya mengandalkan lampu mobilnya. Ia seperti samar-samar mendengar suara seorang perempuan.
Suara apa itu? Apa halusinasi saja? Atau suara makhluk-mahkluk itu?
Tiba-tiba ia melihat sesuatu di depannya, memaksanya menginjak rem secara mendadak.
Namun terlambat, ia sudah telanjur menabrak apapun di depannya itu.
Apa itu salah satu makhluk itu?
Walaupun takut, Shun mencoba untuk memeriksanya. Ia keluar dari mobil untuk melihat apa yang telah ia tabrak tanpa sengaja.
“Tidak ... oh tidak ...”
***
“Cepat! Mereka mengejar kita!” seru Masa-kun. Miki, Yuka, dan Seiji berlari mengikutinya.
Seiji memperlambat larinya untuk menyalakan handy-cam. Ia harus merekam makhluk-makhluk ini. Dunia harus melihat mereka.
“Seiji, apa yang kau lakukan!” jerit Miki begitu menyadari Seiji sudah jauh tertinggal di belakang mereka.
Ia menyalakan handy-cam dan melihat ekspresi ketakutan teman-temannya di depannya.
“Seiji! Di belakangmu!”
“Apa .....AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!”
Tiba-tiba ia merasa sesuatu mencengkeram punggungnya. Ada yang aneh dengan gambar yang tangkap melalui handy-cam. Tubuh teman-temannya semakin kecil dan kecil hingga mereka menjadi titik di tanah.
Tidak, bukan mereka yang mengecil.
Ia yang semakin tinggi.
Ia menyadari sesuatu mengangkatnya ke udara.
Dan tiba-tiba ...
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!”
Seiji kembali menjerit ketika makhluk itu tiba-tiba menjatuhkannya. Tanah menjadi semakin dekat ... dan dekat ... dan ....
“BRAAAAAAAK!!!”
Handy cam itu kini hanya merekam tanah dengan layar yang retak.
***
“Tidak! Tidaaaaak!” jerit Yuka. Ia berusaha menggapai jenazah Seiji, namun Miki menghentikannya.
“Jangan, Yuka! Kita harus terus berlari!” seru Miki, walaupun ia sendiri menangis menyaksikan kematian temannya itu.
Dua gadis menjerit ketika lebih banyak makhluk-makhluk itu datang, berterbangan di udara seperti hama. Mereka berbeda dengan yang merangkak di tanah. Mereka memiliki sayap seperti kelelawar, namun masih mengeluarkan teriakan dan suara yang sama.
“Kyu-ai ... kyu-ai ...”
Salah satu makhluk itu terbang rendah dengan cepat, mengincar kedua gadis itu.
“Awaaaas!”
Miki menutup matanya dan berusaha melindungi Yuka. Namun yang ia rasakan hanyalah hempasan angin. Ia membuka mata dan menyadari Masa-kun berusaha melindungi mereka dengan menamengi mereka dari serangan makhluk itu menggunakan tubuhnya sendiri.
Namun hal yang lebih mengerikan terjadi. Makhluk itu mengangkat tubuh Masa-kun dan merenggutnya ke udara, membawanya terbang bersamanya.
“Masa-kun!!!”
TO BE CONTINUED
Join This Site Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon